PT. Wira Mas Permai di Bualemo, “Dari Perampasan Tanah sampai Buruh Murah”

buruh dilokasi pembibitan

Oleh: Budi Siluet*

 

Pendahuluan

Industri Sawit sampai saat ini masih menjadi andalan Ekonomi Nasional. Seperti dilansir sawitindonesia.com pada 2015 ekspor minyak sawit menyumbang surplus perdagangan nasional sebesar US$ 7,5 Miliar. Lebih lanjut pada KOMPAS.com edisi 23 Februari 2016 menjelaskan bahwa komoditas kelapa sawit menurut catatan laman ditjenbun.pertanian.go.id dan laman kemenperin.go.id masih menjadi andalan ekspor Indonesia. Menempati posisi pertama penghasil minyak kelapa sawit dunia, Indonesia mencatatkan ekspor lebih dari 21,7 juta ton. Sementara, setiap tahunnya, devisa dari kelapa sawit dan turunannya mencapai lebih dari Rp 250 triliun.

Namun sumbangan atas pertumbuhan industri sawit tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejateraan masyarakat, baik petani maupun buruh kebun. Telah menjadi fakta umum bahwa kehadiran perusahaan perkebunan selalu membawa konflik ditingkatan masyarakat baik didalam maupun sekitar perkebunan yang faktanya lebih dahulu mendiami tempat yang menjadi lokasi perkebunan tersebut. Fakta–fakta perampasan tanah petani, eksploitasi buruh dan perusakan lingkungan adalah wajah lain dari industri Sawit ini.

Tulisan singkat ini mencoba mendeskripsikan fakta-fakta dari wajah suram industri sawit tersebut diatas khususnya yang terjadi di kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah, lokasi dimana perusahaan bernama PT.Wiramas Permai berada dan menjalankan praktek usahanya.

Sekilas Tentang Masyarakat Bualemo

Kecamatan bualemo adalah hasil dari pemekaran kecamatan Pagimana. Sebelumnya penduduk kecamatan bualemo sebagian besar adalah suku gorontalo dan saluan (kemudian disebut sebagai masyarakat lokal). Orang gorontalo masuk ke kecamatan bualemo kabupaten banggai diperkirakan pada saat akhir abad ke 19. Sandaran utama kehidupan masyarakat adalah bertani dan memancing. Selain menanam tanaman pangan seperti padi ladang dan ubi-ubian dengan cara berladang masyarakat bualemo juga menanam kelapa dalam sebagai tanaman komoditi utama. Adalah pada tahun 1986 ketika pertama kali masyarakat transmigrasi dari pulau jawa dan lombok datang. Kedatangan masyarakat transmigran sedikit banyak mengubah cara bertani masyarakat, saat itu sawah mulai diperkenalkan dan beberapa tanaman palawija yang sebelumnya jarang ditanam oleh masyarakat petani lokal seperti kacang ijo,wijen dan lain-lain juga mulai dikenal. Dan pada 1990 sampai 1991 bualemo kedatangan gelombang kedua transmigrasi dari pulau jawa, bali dan flores, situasi ini kemudian makin menjadikan terjadinya akulturasi di bualemo.

Sebelum masuknya perkebunan sawit konsentrasi pemilikan tanah (diferensiasi kelas) kepada sekelompok orang petani kaya ternyata sudah mulai terjadi, proses diferensiasi ini terjadi melalui jual beli lahan pertanian dengan berbagai macam alasan diantaranya akibat terjerat utang, biaya berobat buat keluarga yang sakit, biaya anak sekolah sampai biaya perkawinan atau lahan warisan yang sempit dan tanaman kelapa yang sudah tua dan tidak produktif maka lahan tersebut dijual. Situasi ini juga dipengaruhi oleh jatuhnya harga kopra pada medio 1990-an awal. Masyarakat yang telah kehilangan tanah kemudian mencoba membuka lahan baru dengan menanam tanaman palawija dan tanam komoditi perkebunan seperti jambu mete, mengambil hasil hutan berupa kayu,damar dan madu, namun ada juga sebagian yang tetap menjadi nelayan tradisonal.

Pada masyarakat transmigran juga demikian karena tidak semuanya masyarakat yang menjadi peserta transmigran merasa betah dengan daerah baru. Bagi yang tidak betah dan bermaskud meninggalkan lokasi transmigran maka mereka akan menjual jatah tanah dan pekarangan mereka kepada teman yang tetap menetap sebagai warga transmigrasi. Namun berbeda degan masyarakat lokal lahan-lahan masyarakat transmigrasi semuanya telah tersertifikasi. Sebagai konsekwensinya banyak lahan kering milik masyarakat transmigrasi yang belum sempat mereka olah secara serius, karena hanya bermodalkan tenaga maka lahan-lahan tersebut hanya ditanami pada saat menjelang musim penghujan sebagai lahan untuk tanaman palawija dan pada saat musim kemarau sebagai lahan pengembalaan ternak. Dalam beberapa wawancara lahan-lahan tersebut diharapkan menjadi lahan pengembangan buat anak-anak mereka.

Kehadiran perusahaan sawit (PT.WMP) yang melakukan akumulasi tanah melalui perampasan makin membuat terciptanya kelas-kelas sosial di bualemo. Bagaimana tidak perampasan lahan-lahan milik masyarakat lokal yang ditanami tanaman jambu mete dan tanaman palawija yang kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dimana lahan–lahan tersebut kini masuk dalam wilayah HGU milik PT.WMP. Demikian halnya lahan-lahan bersertifikat milik masyarakat transmigrasi yang dirampas oleh pihak PT.WMP semuanya kini menjadi perkebunan sawit. Lebih lanjut terkait praktek perampasan yang dilakukan oleh PT.WMP akan saya diceritakan dibawah. Secara singkat inilah latar belakang situasi agraria saat ini di Bualemo.

Sekilas tentang PT. Wiramas Permai

Wiramas Permai atau biasa disingkat PT.WMP adalah anak perusahaan dari Kencana Agri Limited (Kencana Agri Group). Kencana Agri Limited adalah produsen dalam produksi minyak sawit mentah (CPO) dan inti minyak sawit mentah (CPKO) dengan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi strategis di daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Perusahaan ini dipimpin oleh Mr Henry Maknawi.

Sejak dimulai pada tahun 1996, seperti yang dilaporkan dalam website resmi mereka luas tanaman Kencana Agri Grup telah berkembang menjadi sekitar 67.927 ha pada tahun 2015 termasuk didalamnya adalah tanaman plasma. Kencana Agri Grup saat ini memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit dengan total kapasitas pengolahan 275 ton per jam dan dua pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 435 ton per hari. Kencana Agri Group juga memiliki Land Bank (Bank Tanah) yang saat ini dari seluruh luasan hanya 35% ditanami dan 23.000 ha land bank berada di Sulawesi. Sejak tanggal 25 Juli 2008 Kencana Agri Limited telah menjadi perusahaan yang go public dengan mencatatkan sahamnya di papan utama Bursa Efek Singapura. Pada tahun 2010 Wilmar Group menjadi pemegang saham strategis 20% di Kencana Agri Group.

Sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil ( RSPO) Kencana Agri Group juga berkomitmen membangun perkebunan yang berbasis pada tanggung jawab sosial dan lingkungan. Mereka juga berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal melalui plasma dan rekruitmen tenaga kerja dengan jaminan upah yang sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia (www.kencanaagri.com).

Di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah sendiri PT.WMP beroperasi sejak 2009 ketika mereka mengantongi Surat Keputusan Bupati Banggai Nomor 525.26/15/Disbun tetang Izin Lokasi seluas 17.500 Ha. Dalam perjalananya pada 2011 perusahaan ini kemudian mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan Nomor 525.26/1922/Disbun dan pada tahun itu juga perusahaan ini mengantongi sertifikat HGU dengan Nomor 82/HGU/BPNRI/2011 dengan luasan 8.773,38 Ha.

Perampasan Tanah Petani

Perampasan tanah petani yang dilakukan oleh PT. Wiramas Permai (PT.WMP) terjadi secara masif dan terstruktur. Perusahaan ini “sengaja” didatangkan oleh Ma’mun Amir, Bupati banggai saat itu, memang dimaksudkan sebagai perusahaan yang dapat menjadi pesaing perusahaan sawit yang lebih dahulu ada yaitu PT.Kurnia Luwuk Sejati (PT.KLS) milik Murad Husen. Kelurga Murad Husen adalah lawan politik Ma’mun Amir sampai saat ini.

Karena mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah saat itu maka dari camat sampai kepala desa sejak awal aktif membantu mensosialisasikan tentang rencana dan sistem perkebunan yang akan dibangun oleh PT. WMP. Beberapa wawancara yang kami lakukan dapat kami simpulkan bahwa telah terjadi praktek suap yang dilakuan oleh PT. Wiramas Permai kepada oknum Kepala desa dan oknum Kapolsek diwilayah kecamatan Bualemo sampai tahun 2015. Suap ini berupah intensif kisaran Rp.500.000 sampai Rp. 1000.000 yang disetor setiap bulanya kepada oknum kepala-kepala desa dan oknum kapolsek untuk memuluskan perusahaan dalam beraktifitas. Dan entah disengaja atau tidak, Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT. WMP dikeluarkan oleh Ma’mun Amir bupati saat itu bertepatan dilangsungkanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) banggai 2011.

Modus perampasan tanah petani sangat beragam, pertama apabila lahan-lahan milik masyarakat yang tidak memiliki surat maka lahan tersebut diganti rugi dengan istilah Ganti Rugi Tanaman Tumbuh (GRTT) dengan harga Rp.500.000 sampai Rp.1000.000. Pemilik lahan mengira bahwa lahan tersebut akan menjadi lahan plasma milik mereka, karena sebelumnya memang perusahaan menjanjikan bahwa lahan-lahan tersebut memang akan dijadikan kebun plasma dan perusahaan hanya membayar tanaman mereka yang digusur namun pada faktanya dalam perjanjian dengan istilah GRTT tersebut ternyata adalah penyerahan hak atas tanah. Dalam catatan wawancara yang kami lakukan hampir semua desa dikecamatan bulaemo saat ini tidak lagi memiliki lahan pengembangan pertanian karena seluruh wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi wilayah Hak Guna Usaha (HGU) PT.WMP.

Perampasan tanah ini bukan tanpa perlawanan dari masyarakat, sedari awal ketika perusahaan ini mulai beraktifitas tanpa dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sudah mendapatkan protes dari masyarakat, mulai dari aksi memblokir jalan desa sampai melakukan demo ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

surat keterangan grtt

Surat Keterangan GRTT

Masyarakat penerima GRTT

Masyarakat Penerima GRTT difoto oleh perusahaan

Kedua Penyerobotan langsung lahan bersertifikat milik masayarakat transmigrasi. Sampai saat ini total luasan tanah petani bersertifikat yang dirampas oleh PT. Wiramas Permai mencapai 996 Hektare. Sebagai contoh fakta yang terjadi di desa Malik Makmur, sekitar tahun 2010 lahan petani bersertifikat dengan luasan kurang lebih 120 Ha digusur secara sepihak oleh PT.Wiramas Permai, setelah petani mempertanyakan tindakan penggusuran sepihak tersebut barulah perusahaan yang diwakili oleh Lutfi Wibisono selaku manejer saat itu melakukan sosialisasi dan mengatakan bahwa lahan tersebut adalah untuk plasma. Namun sampai kebun mulai bisa dipanen oleh perusahaan status kebun plasma tanpa kejelasan, soal perjanjian yang harusnya dilaksanakan antara perusahaan dan petani sebagaimana diatur peraturan perundangan tentang perikatan tidak pernah ada. Bahkan beberapa buruh perkebunan menjelaskan bahwa perusahaan memasukan lahan milik rakyat tersebut sebagai kebun inti mereka, dan ini dikuatkan dengan pemasangan papan plang yang bertuliskan bahwa lokasi tersebut adalah bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) milik PT.WMP.

Demikian halnya di desa Sampaka dusun III Benteng, setelah melakukan sosialisasi terkait pembangunan kebun plasma perusahaan langsung mengusur lahan warga yang bersertifikat dan langsung menanami lahan masyarakat tanpa lebih dahulu melakukan kontrak perjanjian terkait pembangunan kebun milik warga tersebut, setelah tanaman berbuah PT. Wiramas Permai mengklaim bahwa lahan bersertifikat milik masyarakat dengan luasan kurang lebih 130 Ha tersebut sebagai bagian dari kebun yang masuk HGU mereka. Namun akibat protes warga dengan mencabut papan plang milik perusahaan, maka perusahaan berjanji akan memproses perjanjian kebun plasma tersebut, namun janji hanya tinggal janji samapai hari ini kebun yang berdiri ditanah milik petani belum medapatkan kejelasan apapun dari pihak perusahaan. Demikian pula yang terjadi dengan lahan bersertifikat milik masyarakat desa Lembah Tomptika dusun Panjit, lahan masyarakat bersertifikat milik masyarakat desa Nipa Kalimoan dan lahan bersertifikat milik masyarakat desa Bima Karya.

Perampasan tanah ini juga menuai perlawanan dari masyarakat pemilik lahan aksi-aksi protes ditingkatan kecamatan sampai ke kabupaten terus dilakukan sampai petani kemudian menduduki kembali lahan merka yang dirampas. Banyak petani setelah menduduki kembali lahan mereka kemudian menganti tanaman sawit menjadi tanaman palawija seperti jangung,wijen dan cabai.

Sertifikat hak milik

Sertifiakat Hak Milik

lahan tanaman jagung

Petani menanami lagi lahan mereka dengan tanaman jagung

Tidak Membangun kebun masyarakat

Diatas disebutkan bahwa Kencana Agri adalah anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sebagai anggota RSPO Kencana Agri tentu saja dalam setiap kesempatan mengatakan komitmen mereka tentang tanggung jawab sosial dan ligkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal melalui pembangunan kebun plasma. Komitmen ini tentu saja sesuai dengan Undang-undang No 18 Tahun 2014 tentang perkebunan yang kemudian diubah menjadi Undang.Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang dengan tegas mengatakan bahwa Perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan perkebunan atau yang banyak dikenal dengan pola Inti Plasma.

Namun di kecamatan Bulaemo yang terjadi justru sebaliknya, setelah enam tahun berselang sejak keberadaan PT. WMP di kecamatan Bualemo kebun masyarakat tidak pernah ada kejelasan dalam pembangunannya, dilapangan kita tidak akan menemukan yang namanya petani plasma karena seluruh kebun adalah kebun inti milik perusahaan. Fakta ini kemudian dikuatkan oleh pihak Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Banggai pada pertemuan tanggal 19 Maret 2015 dikantor Bupati Banggai yang juga dihadiri oleh Pihak PT.Wira Mas Permai dengan tegas dikatakan bahwa benar pihak PT. Wira mas Permai sampai saat ini tidak pernah membangun kebun masyarakat seperti yang diwajibkan oleh Undang- undang.

Penghisapan Buruh

Seperti disemua tempat dilokasi perkebunan sawit cerita tentang buruh adalah cerita tentang ketertindasan bahkan dalam situasi tertentu kondisi buruh tadak ada bedanya dengan kisah-kisah perbudakan dijaman lampau demikian pula yang dilakukan oleh PT.WMP di kecamatan bualemo kabupaten banggai sulawesi tengah.

Persis sebagaimana dijelaskan Arianto Sangadji bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit, pada umumnya, membagi pengelolaan perkebunannya ke dalam afdeling (divisi) dengan luas areal dan jumlah tenaga kerja tertentu. Setiap afdeeling juga dibagi lagi ke dalam beberapa blok, dengan demikian pengorganisiran buruh dalam pekerjaan menjadi mudah. Dari sana bisa juga dihitung jumlah tenaga kerja di perusahaan perkebunan itu (Arianto Sangadji 2009). PT.WMP mempunyai delapan afdeling yakni,afdeling hotel,afdeling fanta, afdeling echo, afdeling delta, afdeling alfa, afdeling papa, afdeling nursery I dan afdeling Nursery II. Setiap afdeling dipimpin oleh seorang asisten kebun dan tujuh orang mandor.

Dilokasi pembibitan atau yang sering disebut sebagai afdeling nursery buruh dikonsentrasikan untuk melakukan pembibitan. Dalam tahap ini karena bibit tanaman membutuhkan perlakukan khusus maka buruh harus tinggal dalam lokasi tersebut dengan cara membuat gubuk – gubuk yang dijadikan kamp- kamp saat kerja pembibitan. Mulai dari pengembangbiakan kecambah kelapa sawit (pre-nursery), kemudian tahap pembibitan (Main –nursery) sampai dengan penanaman. Semua buruh yang bekerja di upah harian sebesar Rp.35.000 perharinya pada tahun 2009 sampai 2010.

Karena upahnya dalam bentuk harian maka buruh setiap harinya harus masuk, demikian halnya dengan buruh perempuan yang pekerjaanya mulai dari meyiram,memupuk dan menyemprot obat-obatan kimia, tidak ada yang namanya cuti haid atau cuti melahirkan. Perempuan-perempuan hamil tetap terus bekerja sampai melahirkan bahkan seorang buruh perempuan bernama Nurtin Waminu harus dua kali melahirkan dilokasi pembibitan tanpa bantuan medis yang berarti.

 kamp buruh saat pembibitan

Kamp Buruh saat Pembibitan

Kejadian seperti ini terus terjadi sampai tanaman sawit mulai berbuah dan bisa dipanen. Kondisi buruh tetap tidak berubah dan terus menjadi buruh harian lepas. Fakta ini jelas melanggar Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan padahal undang-undang ini kita ketahui bersama masih sangat jauh dari prinsip perlindungan buruh yang sejati.

buruh dilokasi pembibitan

Buruh Kebun dilokasi Pembibitan

Selain asisten kebun dan mandor tidak ada buruh tetap dalam pengelolaan kebun di PT.WMP. Jangankan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja,cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan, bahkan upah yang diterima buruh saja tidak sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP), padahal jelas dalam Undang-undang Ketenagakerjan pasal 90 perusahaan dilarang mengupah buruh dibawah upah minimim propinsi/kabupaten, karena lebih lanjut dijelaskan pada pasal 185 bahwa tindakan tersebut adalah pidana kejahatan. Kondisi ini semakin diperparah dengan situasi buruh yang sewaktu-waktu terancam PHK tanpa pesangon. Dan yang lebih mengerikan lagi adalah sikap anti serikat buruh yang dipraktekan olah PT. Wiramas Permai, jelas ini adalah praktek kejahatan yang sangat nyata, dimana sebanyak 170 orang buruh di PHK secara sepihak hanya karena mendirikan Serikat Buruh, padahal jelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:

Pasal 28 ditegaskan “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:

  1. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
  2. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
  3. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
  4. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Lebih lanjut disebutkan Pasal 43 :

  1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Demikian pula yang terjadi pada 278 orang buruh yang dipecat kemudian, semuanya tidak menerima pesangon sama sekali meskipun telah bekerja selama tujuh tahun semua buruh hanya menerima uang pisah sebesar Rp.1000.000 sampai Rp.2000.000. Jelas ini adalah pelanggaran yang nyata terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan pastinya adalah pembangkangan terhadap negara namun karena tidak adanya pengawasan dan tindakan yang serius dari pihak pemerintah maka informalisasi buruh perkebunan terus berjalan mulus.

Penutup

Sebagai catatan penutup tulisan ini saya mencoba menggaris bawahi beberapa persoalan yang saya kira pantas untuk didiskusikan lebih lanjut. Yang pertama terkait kepemilikan atas tanah sebagai alat produksi utama petani. Diatas telah diceritakan bagaimana banyak lahan-lahan milik petani telah berpindah kepada sekelompok petani kaya atau dirampas oleh PT.WMP. Dalam struktur agraria di bualemo mayoritas petani adalah petani berlahan kering dengan luasan 1 Hektare – 5 Hektare. Situasi seperti ini adalah situasi yang sangat rawan karena dengan bertambahnya keluarga baru dalam tiga tahun kedepan diperkirakan akan banyak terdapat tunakisma di bualemo.

Dengan hancurnya pertanian rakyat akibat ekslusi yang masif oleh negara dan perusahaan swasta kepada petani maka persoalan kedua muncul sebagai konsekwensinya yakni banyaknya barisan tenaga kerja cadangan. Dengan banyaknya tenaga kerja cadangan maka informalisasi buruh perkebunan adalah keniscayaan. Dengan situasi seperti ini maka hanya satu pilihan buat petani yang telah kehilangan sebagian atau keseluruhan tanahnya yakni mengambil alih lagi lahan-lahan mereka yang dikuasai perusahaan dan mengolahnya.

Kepada pemerintah harus segera mengutamakan penegakan hukum agar kejahatan yang dilakukan perusahaan tidak lagi memakan korban yang lebih banyak,menghentikan ekspansi perkebunan sawit dan melakukan perlindungan terhadap petani dan buruh.

Tantangan buat masyarakat bualemo kedepan memang berat namun bukan berati tidak mungkin untuk dapat diperbaiki, apalagi sampai hari ini masyarakat telah berhasil menguasai kembali secara fisik sebagian lahan-lahan yang dirampas perusahaan tersebut dan sebagian buruh-buruh yang ter PHK ternyata mampu bertahan dengan kembali mengusahakan lahan-lahan mereka atau kembali menjadi nelayan tradisonal. Apabila kekuatan ini dipadukan dengan perencanaan yang baik dan semangat kolektifitas maka selalu ada jalan lain. Apalagi dengan keberadaan dana desa yang lumayan besar, adanya undang-undang dan peraturan daerah (perda) perlindungan petani saat ini, ditambah lagi proyek pembangunan irigasi oleh pemerintah yang sedang berlangsung, apabila peluang ini digunakan dengan tepat maka perbaikan tetap niscaya.***

*Penulis adalah Staf Lapangan Walhi Sulteng

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Jurnal Kampung Hijau Volume 1 Tahun 2016

__________________________________

Daftar Rujukan

  1. Arianto Sangaji; Transisi Kapital Di Sulawesi Tengah, Kertas Posisi YTM Nomor 9 Tahun 2009 ; Pengalaman Industri Perkebunan Sawit
  2. Muhtar Habibi; Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, Relasi Kelas,Akumulasi dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980 an (2016)
  3. https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/berita-terbaru/industri-sawit-tetap-andalan-ekonomi-nasional
  4. http://tekno.kompas.com/read/2016/02/23/175459026/Kelapa.Sawit.Masih.Andalan.Pengelolaan.Lahan.Harus.Jadi.Perhatian
  5. http://www.kencanaagri.com/milestones.html

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *