Potret Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah

sawit-inti-plasmaLiputan Kegiatan

Media Briefing: Potret Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah

Rabu, 25 Maret 2015, Ruang Pertemuan WALHI Sulawesi Tengah.
Secara ekonomi, industri kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang dibanggakan oleh Indonesia, karena memiliki nilai serta prospek masa depan yang baik serta memiliki daya saing yang tinggi sebagai industri minyak sawit. Dimana sawit adalah salah satu sumber yang paling kompetitif di dunia untuk biofules dan sebagai sumber makanan. Sedangkan pengembangan dari limbah kelapa sawit ini masih digunakan untuk keperluan industri oleokimia, seperti pembuatan deterjen, sabun dan bahan kosmetik.
Diperkirakan di tahun-tahun mendatang akan dibutuhkan lebih banyak lagi produksi makanan untuk memberi makan penduduk bumi yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dengan begitu dibutuhkan lebih banyak minyak untuk penggunaan pembuatan makanan.
Potensi inilah yang dilihat oleh para pengusaha atau investor sebagai peluang besar untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga tidak mengherankan mereka melakukan proses ekspansi dalam skala yang besar lahan dan sumber daya yang ada di sektor kelapa sawit ini, laju ekspansi di sektor ini terjadi begitu cepat dan massiv, dengan dukungan finansial yang besar yang dimiliki oleh pengusaha memudahkan mereka untuk mengembangkan perusahan-perusahaan kelapa sawit mereka.
Bertempat di ruang pertemuan WALHI Sulawesi Tengah di Jln Kihajar Dewantara, Lorong Bakti Baru No.15A, Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-INDONESIA) bersama-sama Perkumpulan Evergreen Indonesia dan WALHI Sulawesi Tengah menggelar media briefing terkait dengan temuan-temuan di lapangan yang terjadi akibat dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar yang ada di Sulawesi Tengah.
Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah, Ahmad, memaparkan, “apa yang kita ingin sampaikan hari ini sebenarnya adalah informasi dari proses advokasi yang sudah dilakukan sejak tahun 2009 dan ditambah dengan informasi dari hasil perjalanan kami selama kurang lebih dua mingggu terakhir ke Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Banggai. Jika mengacu kepada data yang direkap oleh dinas perkebunan provinsi, luas areal perkebunan sawit di Sulawesi Tengah adalah 693.699 ha, dengan rincian untuk izin lokasi seluas 250.763 ha, izin usaha perkebunan seluas 294.545 ha dan hak guna usaha seluas 148.390, yang dikuasai oleh 48 perusahaan.
Di perkebunan kelapa sawit satu perusahaan harus melalui beberapa tahapan untuk mendapatkan izin lokasi terlebih dahulu, setelah melewati proses verifikasi dan sebagainya kemudian baru ada izin usaha perkebunan, jika dianggap tidak ada masalah atau istilah pemerintah itu adalah clear and clean baru ada hak guna usaha.
Di Sulawesi Tengah itu sendiri ada 48 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi, namun hanya 14 perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha, sehingga sisanya beraktifitas tanpa Hak Guna Usaha, diantaranya Astra Agro Lestari dengan 98 ribu hektar dengan 90 persen tanpa HGU, Sinar Mas dengan kelompoknya SMART yang menguasai 61 ribu hektar tanpa HGU, dan Kencana Agri yang menguasai areal lebih dari 55 ribu hektar yang telah memiliki HGU dan sekitar hampir 30 ribu hektar yang dikuasai tanpa HGU”.
Lanjut Ahmad, “dari aktifitas perusahaan-perusahaan tersebut ada beberapa permasalahan yang muncul akibat dari operasi yang dilakukan, seperti:

  1. Permasalahan soal konversi kawasan hutan, perusahaan mengkonversi kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi menjadi perkebunan kelapa sawit yang tumbuh di atas kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi. Seperti yang terjadi Kecamatan Bualemo sekitar 250 hektar dan Morowali Utara lebih dari 2.000 hektar, yang terjadi secara massive.
  2. Permasalahan berikutnya adalah soal perampasan tanah yang terjadi hampir diseluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perampasan terjadi atas tanah petani yang memiliki sertifikat, surat pemilikan tanah dan surat atau alat bukt lainnya. Tanah tersebut diambil dengan janji plasma, tanpa adanya proses pembebasan tanah seperti proses jual beli.
  3. Permasalahan yang lain adalah soal eksploitasi buruh atau tenaga kerja, karena buruh bekerja dan diupah di bawah UMP provinsi yakni kurang lebih 1,5 juta/bulan. Di perusahan-perusahaan kelapa sawit ini buruh digaji rata-rata 1 juta/bulan. Eksploitasi secara massive juga terjadi atas buruh-buruh perempuan, temuan yang terjadi seperti di  Wira Mas Permai yang merupakan anak perusahaan dari Kencana Agri Group adalah salah satu ibu hamil baru berhenti bekerja 1-4 hari sebelum melahirkan kemudian kembali bekerja 1 bulan setelah melahirkan, persoalan lainnya adalah terkait tidak adanya keselamatan kerja bagi para pekerja, faktanya adalah salah satu orang buruh perempuan mengalami kebutaan di mata kirinya karena terkena pupuk pestisida saat proses pemupukan kebun sawit.
  1. Permasalahan yang berikutnya adalah soal kebun plasma yang dijanjikan oleh perusahaan saat pertama kali sosialisasi kepada masyarakat, namun hingga saat ini tidak pernah dilakukan oleh perusahaan. Ada perusahaan yang beroperasi hanya memegang izin lokasi sehingga bisa dikatakan pelanggaran administratif.

Selanjutnya selama kurang lebih dua minggu ini Walhi Sulawesi Tengah bersama-sama dengan Perkumpulan Evergreen Indonesia dan TuK INDONESIA kembali melakukan memonitor dan melakukan investigasi. Walhi Sulwesi Tengah bersama Perkumpulan Evergreen Indonesia, TuK INDONESIA serta masyarakat di Morowali Utara dan Banggai terus melakuakn proses advokasi untuk mengupayakan bagaimana tanah-tanah warga ini kembali, dan untuk mendapatkan kebun plasma, kami juga terlibat melakukan advokasi terhadap hak-hak buruh yang menuntut pesangon setelah di-PHK oleh PT Wira Mas Permai.
Walhi Sulawesi Tengah dan TuK INDONESIA juga telah mengidentifikasi bank-bank mana saja yang memberikan pinjamannya kepada kelompok-kelompok perkebunan kelapa sawit ini, kami juga akan melakukan advokasi terkait dengan sektor keuangannya, melakukan komplain terhadap pemberi dana ini bahwa fakta dampak dari perkebunan kelapa sawit ini sangat buruk karena adanya perampasan tanah, penggusuran dan pengerusakan lingkungan, ini untuk menekan bank-bank atau lembaga-lembaga perbankan tersebut untuk menerapkan standar yang lebih ketat ketika memberikan investasinya di sektor perkebunan, pungkasnya”.
Direktur Advokasi TuK INDONESIA, Edisutrisno menjelaskan, “jika terkait perampasan tanah ini memang sangat sulit untuk melakukan di ruang litigasi dalam hal ini peradilan karena ruang ini terlalu kejam untuk komunitas sehingga kita tidak akan mengambil langkah itu, namun kita masih yakin bahwa ruang di eksekutif itu masih memungkinkan, masyarakat akan melakukan advokasi ke ranah itu dalam hal ini BPN agar BPN melakukan review terhadap HGU yang telah mereka terbitkan. Masyarakat dalam waktu dekat paling telat bulan April juga akan mengirimkan surat ke Kementerian Agraria agar Menteri Agraria segera melakukan review itu dan memastikan tanah tersebut kembali kepada pemilik semula yakni masyarakat”.
Media Briefing ini dihadiri oleh media lokal di Palu, diantaranya Pos Palu, Luwuk Post, Kompas Palu dan Metro Sulawesi serta kawan-kawan NGO lokal; WALHI Sulawesi Tengah, Perkumpulan Evergreen Indonesia, TuK INDONESIA, JATAM Sulteng dan YMP Palu.
 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *