Pernyataan Pers Bersama

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia

Tolak Hutang Baru Untuk Pembangunan Infrastruktur

[Jakarta, 2 Maret 2017] Melanjutkan serangkaian kebijakan Pinjaman Bank Pembangunan Multilateral di dunia, World Bank, IFC, ADB dan berbagai pendana bilateral yang memberikan pinjaman dan investasi mendukung rekomendasi mereka bahwa Pemerintah Indonesia meluncurkan perantara keuangan infrastruktur penuh kontroversi dan resiko tinggi. Secara umum, telah ditemukan bahwa risiko lingkungan dan sosial yang terkait dengan “financial intermediaries” cukup tinggi, sementara uji tuntas lingkungan, sosial dan fidusia dan kinerjanya secara keseluruhan cukup rendah.

Pendanaan dari Bank Pembangunan Multilateral ini telah menjadi subyek dari pengawasan publik selama beberapa tahun, dan berbagai analisis besar risikonya bagi masyarakat dan lingkungan, serta potensi pelanggaran terhadap safeguard World Bank, IFC dan ADB telah diidentifikasi dalam konteks PT. IIF dan RIDF misalnya, serta perantara keuangan infrastruktur Indonesia lainnya. Kelemahan yang mencolok terdapat di uji tuntas lingkungan, sosial dan keuangan telah ditemukan serta risiko yang tinggi berdampak pada masyarakat yang terkena dampak dan lingkungan, dampak pada wanita, kelompok rentan, hak atas tanah, akses ke informasi, kurangnya konsultasi dan/atau konsultasi palsu, dari investasi atau jaminan yang ada dan direncanakan.

Buruknya financial intermediaries ini adalah kini mereka bergerak ke arah penggunaan “sistem peminjam” untuk kerangka perlindungan social dan lingkungannya. Publik pun akhirnya melihat pada masalah aturan AMDAL, undang-undang pembebasan lahan, aturan tentang partisipasi masyarakat dan konsultasi; melemahnya peran AMDAL, aturan baru yang mempercepat perampasan tanah, melemahkan hukum tanah yang ada dan mengurangi jangka waktu komentar publik; selain itu terdapat juga masalah dengan mekanisme pengaduan; perlindungan keanekaragaman hayati; tanah adat dan hak-hak; proses perijinan lingkungan dll

Hutang baru untuk pendanaan infrastruktur Indonesia akan segera diputuskan. Gabungan pendanaan untuk RIDF sebesar USD 400 juta, yang terdiri dari USD 100 juta berasal dari pinjaman dari AIIB, USD 100 juta berasal dari pinjaman dari WB, dan USD 200 juta berasal dari kontribusi ekuitas PT SMI. Pinjaman Proyek tambahan untuk PT. IIF mencapai 200 juta dollar dari Bank Dunia. Para Eksekutif Direktur Bank Dunia dan AIIB merencanakan akan memutuskan RIDF sekitar 10 Maret 2017, sedangkan suntikan dana untuk PT. IIF direncanakan akan diputuskan Bank Dunia pada 22 Maret.

Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) banyak memberi pinjaman ke Indonesia pada beberapa proyek, yang juga bergandengan dengan Bank Dunia. Dia didirikan pada 2016 oleh pemerintah RRC, dengan keanggotaan dari banyak negara, untuk mengatasi kebutuhan pembangunan infrastruktur di Asia. Selain RIDF, di Indonesia, AIIB telah menyetujui satu proyek co-finance bersama dengan Bank Dunia (IBRD) yaitu National Slum Upgrading Project (NSUP) bagian dari program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh).

Regional Infrastructure Development Fund Project (RIDF)

Salah satu proyek yang akan dibahas persetujuannya oleh AIIB pada bulan Maret 2017 adalah RIDF. Proyek ini sendiri merupakan keberlanjutan dari hutang yang diberikan Bank Dunia kepada PT SMI, sebagai bentuk kepersertaan modal melalui PT IIF, yang menggunakan model KSP / PPP untuk pembangunan infrastruktur. Dan setelah proyek ini selesai dilanjutkan dengan usulan co-finance bersama AIIB.

Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan akses pembiayaan infrastruktur di tingkat daerah melalui perantara keuangan. Penerima manfaat proyek utama adalah penduduk daerah-daerah yang akan dilayani oleh subproyek infrastruktur yang didanai oleh sub-pinjaman di bawah proyek. RIDF yang diusulkan sebagai solusi pembiayaan untuk infrastruktur perkotaan, yang meliputi serangkaian investasi sektor nasional vertikal dan program bantuan teknis untuk: (i) sistem transportasi perkotaan; (ii) penyediaan air perkotaan dan sanitasi; (iii) drainase, banjir dan risiko bahaya; (iv) perbaikan permukiman kumuh dan risiko bahaya; dan (v) sistem pengelolaan sampah. Proyek ini akan dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Dan proyek RIDF ini juga terdapat dalam informasi yang diunggah PT SMI sebagai proyek dalam proses persetujuan.

Proyek ini terdiri dari dua komponen, yaitu :

  1. Dukungan Modal untuk RIDF sebesar USD 400 juta, yang terdiri dari USD 100 juta berasal dari hutang AIIB, USD 100 juta berasal dari hutang WB, dan USD 200 juta berasal dari kontribusi ekuitas PT SMI. RIDF melalui PT.SMI akan memberikan pinjaman langsung kepada pemerintah daerah yang fokus di tingkat kabupaten (kota dan kabupaten), dan ke perusahaan lokal tingkat milik negara (misalnya PDAM (utilitas publik tingkat lokal), dan Perusahaan Daerah (PD) atau perusahaan pemerintah tingkat Regional). Juga, RIDF akan mendanai sub-proyek untuk infrastruktur produktif, lingkungan, dan sosial yang menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah di bawah sistem desentralisasi di Indonesia.
  2. Fasilitas Pengembangan Proyek RIDF senilai USD 6 juta yang terdiri dari USD 3 juta pembiayaan hibah bilateral berasal dari Swiss dan USD 3 juta sebagai kontribusi peminjam. Dukungan Fasilitas Pengembangan Proyek (PDF) ini akan membantu memastikan bahwa sub-proyek yang konsisten dengan standar penilaian teknis, keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan dari RIDF. Kegiatan yang memenuhi syarat untuk dukungan PDF meliputi: identifikasi proyek dan penataan awal; studi persiapan proyek, termasuk 3 studi kelayakan dan desain rekayasa rinci; desain dan pengawasan bantuan; jasa konsultasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan, penilaian lingkungan dan sosial, dll .dan persiapan pengadaan dan kontrak dokumen

Dan AIIB telah memutuskan untuk menggunakan ESSP Bank Dunia (WB)  dan di bawah ESSP, proyek ini dikategori FI, karena melibatkan investasi dari Dana Bank melalui perantara keuangan, PT. SMI.

Menurut Green Climate Fund (GCF), sebuah lembaga internasional yang menilai kepatutan PT. SMI untuk terima dana dari GCF, anehnya bukan hanya bahwa PT. SMI tidak memiliki kebijakan keterbukaan [disclosure policy] yang memang biasa tetapi juga “tidak membuktikan bukti “track record” dalam procurement skala besar”.[1]

Indonesia Infrastructure Finance (IIF)

Indonesia Infrastructure Finance (IIF) didirikan pada tanggal 15 Januari 2010 sebagai inisiatif Pemerintah Indonesia. IIF terstruktur sebagai lembaga keuangan swasta non-bank bekerja sama dengan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lembaga-lembaga multilateral internasional lainnya di bawah regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 100 / PMK.010 / 2009 tanggal 27 Mei 2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur[2] dengan fokus pada investasi di proyek-proyek infrastruktur yang layak secara komersial di Indonesia dan untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur negara.

Pendirian PT IIF diharapkan dapat mendukung akselerasi pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Swasta /Public Private Partnership (KPS/PPP) di bidang infrastruktur, melengkapi program penyediaan dana land capping, program penyediaan dana bergulir untuk pembebasan tanah (land revolving fund), dan memperkuat sinergi dengan institusi institusi yang telah dibentuk sebelumnya yaitu PT SMI dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII).

PT.IIF didukung oleh Pemerintah  Indonesia dan Lembaga-Lembaga multilateral dunia yang tercermin dalam kepemilikan saham. Dan karena PT.IIF sumber dananya melalui salah satu group Bank Dunia yaitu IFC, dan ADB, maka berlaku praktik terbaik berstandar internasional dalam hal perlindungan sosial dan lingkungan (ESMF) dan tata kelola perusahaan yang baik dalam rangka untuk mempromosikan pengembangan proyek infrastruktur yang lebih berkelanjutan di Indonesia.

Terdapat beberapa pinjaman WB dan IFC dan investasi, termasuk pinjaman WB $ 100 juta ke dana infrastruktur yang dimiliki Kementerian Keuangan (Kategori FI, Disetujui 2009; Tanggal penutupan 2016.) Kemungkinan Bank Dunia berencana untuk memberikan tambahan dana sebesar $ 250 juta kepada IIF, namun hal ini belum jelas. Terlepas dari kenyataan bahwa awal proyek Bank Dunia dimulai pada tahun 2009, sebagian besar dana dari proyek pertama ($ 97 juta) terutama baru dikeluarkan pada tahun 2014 untuk “proyek-proyek infrastruktur yang memenuhi syarat”.

Pada 2015, IIF telah mencairkan pinjaman subordinasi dari Bank Dunia sebesar US$ 2,7 juta sehingga jumlah pinjaman subordinasi total adalah US$ 199,4 juta dari total fasilitas US$ 200 juta. Selain itu, IIF mendapatkan fasilitas pinjaman baru dari Bank Mandiri senilai Rp 150 miliar dari total fasilitas pinjaman Rp 1 triliun.

Menurut laman PT IIF, proyek infrastruktur yang menjadi sasaran pembiayaan PT IIF adalah :

  1. Infrastruktur Transportasi, meliputi pelayanan jasa ke bandar-udaraan, penyediaan dan/atau pelayanan jasa ke pelabuhanan, sarana dan prasarana perkereta-apian.
  2. Infrastruktur Jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol.
  3. Infrastruktur Pengairan, meliputi saluran pembawa air baku.
  4. Infrastruktur Air Minum, yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum.
  5. Infrastruktur Air Limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan.
  6. Infrastruktur Komunikasi dan Informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government.
  7. Infrastruktur Ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari energi terbarukan, transmisi, atau distribusi tenaga listrik.
  8. Oil And Gas Infrastructure, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.

Berdasarkan release yang disampaikan PT IIF, telah mencakup hampir 20 proyek termasuk jalan tol, pengelola bandara dan bengkel perawatan pesawat, operator pelabuhan, infrastruktur telekomunikasi, pembangkit listrik (PLTA besar, kecil, PLTU, pembangkit listrik tenaga matahari), produsen gas dan pipa gas. Pada bidang layanan advisory, Indonesia Infrastructure Finance juga telah berhasil menjadi konsultan pendamping proyek jalan tol Trans Sumatera dan proyek pengadaan air bersih di Semarang Barat.

  1. Pinjaman kepada PT Angkasa Pura II (Persero) untuk pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Terminal 3 Ultimate) dan bandara lain di bawah lingkungan perusahaan
  2. Penyertaan setoran modal sebesar Rp 300.000.000.000 (tiga ratus miliar rupiah) dalam bentuk Mandatory Convertible Bond dengan jangka waktu selama 5 tahun kepada PT. Sumberdaya Sewatama, untuk membiayai pembangunan proyek-proyek pembangkit tenaga listrik menggunakan bahan bakar energi bersih dan baru terbarukan yang disiapkan Perseroan.
  3. Pembiayaan proyek Konstruksi Pipa Gas Bawah Laut sepanjang 13,5Km dari Pulau Pemping ke Tanjung Uncang, Batam.
  4. Pembiayaan Proyek Tol Cipali.
  5. Bekerjasama dengan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) untuk program pembiayaan proyek infrastruktur di daerah.
  6. Sebagai MandatedLead Arranger, pembiayaan pembangunan jaringan tulang punggung serat optik nasional Palapa Ring Paket Tengah untuk  PT Len Telekomunikasi Indonesia (PT LTI)
  7. Pembiayaan bersama (co-financing) untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia bersama PT Kopelindo Infrastruktur Indonesia (Kopel Infrastruktur)
  8. Konsultan pendamping proyek jalan tol Trans Sumatera dan
  9. Proyek pengadaan air bersih di Semarang Barat.

Tuntutan

1) Dewan Pengurus AIIB dan BD mesti Menolak RIDF dan IIF

Pada bulan Maret, Dewan Pengurus AIIB dan BD merencanakan ambil keputusan tentang apakah BD dan AIIB patut mendanai RIDF dan PT IIF. Tapi oleh karena pelanggaran Safeguards BD dan risiko tinggi untuk lingkungan dan masyrakat, Koalisi menuntuk Dewan Pengurus AIIB dan BD untuk menolak RIDF dan IIF yang sangat berisiko.

 Jika melihat waktu disetujuinya RIDF II ini oleh World Bank – AIIB, maka Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial dalam proyek RIDF II ini adalah Safeguards Bank Dunia, bukan ESF World Bank yang tahun lalu disahkan. Sehingga sepatutnya, kalau dalam sebuah proyek BD, kalau ada proposal untuk penggunaan sebuah “sistem peminjam” – yaitu undang-undang, PP dll dari negara peminjam dari pada Safeguards BD, harus ikuti syarat Country Safeguards System (CSS) yang mewajibkan pembuktian bahwa perlindungan atas lingkungan dan masyraka di “sistem peminjam” sama kuatnya dibandangkan dengan syarat BD. Misalnya ada syarat BD bahwa harus ada proses konsultasi yang berarti [meaningful consultation] selama sekitar 120 hari sebelum ada keputusan tengang proyek; penggusuran perlu dihindari dan kalau tidak bisa dihindari harus ada proses konsultasi jelas, adil dan tanpa koersi atau kekerasaan untuk membangun sama rakyat yang kena dampak sebuah Rencana Pemindahan yang menjamin pendapatan rakyat yang dipindahkan tidak akan jatuh, mala naik.  Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa standard national memberi pelindungan yang sama, dilarang memakai standard nasional kalau lebih lemah dari perlindungan BD. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan isi dari ESMF RIDF. Disebutkan bahwa ESMF ini disusun berdasarkan peraturan Pemerintah Indonesia, ESS (Environmental and Social Standards) PT. SMI dan Standar Internasional termasuk Kebijakan Safeguards Bank Dunia (OP 4.01, OP 4.04, OP 4.09, OP 4.36, OP 4.11, OP 4.37 dan OP 4.10 and OP 4.12).[3] Jika demikian adanya, Kerangka Perlindungan dalam proyek RIDF ini justru mendasarkan pada penggunaan system perlindungan Negara peminjam, yang tidak equivalen dengan Safeguards Bank Dunia yang adalah melanggar ketentuan Bank Dunia sendiri.

 RIDF dan IIF merupakan fasilitas pembiayaan untuk pembangunan berbagai sarana infrastruktur yang akan dilakukan di daerah. Deklarasi tentang Hak untuk Pembangunan, yang disahkan Sidang Umum PBB 41/128 tanggal 4 Desember 1986 telah menyatakan bahwa Hak atas pembangunan merupakan Hak Asasi Manusia, yang juga mengandung arti diwujudkannya sepenuhnya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, yang mencakup, tunduk pada ketentuan berkaitan dari kedua Persetujuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, pelaksanaan hak mereka yang tak terpisahkan terhadap kedaulatan sepenuhnya atas semua kekayaan alam dan sumberdaya. Hal ini patut menjadi perhatian bagi Negara dalam melaksanakan pembangunan.[4]

Selain tuntutan di atas, Koalisi juga menuntut:

  1. Mengingat sampai kini dokumen proyek (yg mana? Keduaduanya?)hanya ada dalam Bahasa Inggris, maka Bank Dunia dan AIIB wajib memberikan informasi seluas-luasnya, mengkonsultasikan terkait proyek ini, serta memberikan berbagai dokumen proyek dalam bahasa Indonesia;
  2. Memastikan negara Indonesia menaati keseluruhan ketentuan perlindungan sosial dan lingkungan (safeguards) Bank Dunia, guna meminimalisasi pelanggaran atas hak-hak warga yang terdampak dari pelaksanaan proyek RIDF da PT. IIF di daerah;
  3. Pelemahan system perlindungan social dan lingkungan harus dihindari, sehingga penggunaan system perlindungan yang diatur Negara peminjam harus dihindari;
  4. Proyek pembangunan infrastruktur di daerah merupakan proyek yang kerap menggunakan pengamanan dan pemaksaan oleh polisi atau militer. Maka harus ada larangan eksplisit mengikat secara hukum pada penggunaan pasukan keamanan bersenjata, ancaman dan kekerasan terhadap masyarakat dengan klausul yang mengikat secara hukum, bahwa setiap ancaman tersebut atau penggunaan kekerasan terhadap masyarakat atau organisasi masyarakat sipil akan mengakibatkan pembatalan proyek;
  5. Bank Dunia dan AIIB harus bertanggungjawab penuh terhadap pembebasan lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; Pertama, penggusurah harus dihindari; Kedua, semua syarat BD untuk pemindahan perlu diimplementasikan 100%.
  6. Bank Dunia dan AIIB mendorong penyelesaian hukum terhadap setiap penyalahgunaan anggaran proyek, dan membangun mekanisme  pengawasan yang ketat  guna  menghindari  terjadinya  korupsi  proyek;

Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia

(WALHI – ILRC – ELSAM – The Ecological Justice – TuK INDONESIA)

 

Kontak:

Zenzi Suhadi (WALHI)                                                : 081289850005

Siti Aminah Tardi (ILRC)                                            : 081908174177

Andi Muttaqien (ELSAM)                                           : 08121996984

Rio Ismail (The Ecological Justice)                           : 081290230558

Vera Falinda (TuK INDONESIA)                              : 082177889183

[1] GCF, Consideration of accreditation proposals, 12/2/16: “Moreover, the applicant has not provided evidence of its track record for large-scale procurement”.  Ini luar biasa karena PT SMI telah bertahun2 terlibat procurement untuk proyek skala besar dimana ada risiko tinggi untuk korupsi.

 
[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 /Pmk.010/2009 Tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
[3] Ibid, hal 3
[4] Selengkapnya lihat Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UN Declaration on the Right to Development A/RES/41/128, 4 December 1986
 
 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *