Peninjauan Kembali Dikabulkan: Masyarakat Adat Menang Melawan Korporasi Perkebunan

Konflik atau Mufakat?Pernyataan Pers: Public Interest Lawyers Network (PILNET)
[Jakarta, 5 Oktober 2015] Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Japin dan Vitalis Andi, dua orang masyarakat Adat Dayak di Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat (putusan.mahkamahagung.go.id). Majelis Hakim Peninjauan Kembali juga membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 dan merehabilitasi nama para Terpidana dan memulihkan hak-hak para Terpidana dalam kedudukan, harkat dan martabatnya.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang terdiri dari Dr. Salman Luthan, S.H., M.H; Dr. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., dan Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M., mempertimbangkan bahwa dalam perkara yang diajukan Japin dan Vitalis Andi terdapat keadaan baru (Novum), yakni Putusan MK No: 55/PUU-VIII/2011. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membatalkan Pasal yang menjadi dasar Japind dan Vitalis Andi dipidana.
Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 21 dan 47 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) batal demi hukum dan tidak berlaku lagi. Hal ini disebabkan karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang undang bersifat deklaratoir dan tidak mengenal putusan yang bersifat condemnatoir. Meski bersifat deklaratoir, akan tetapi putusan tersebut secara konstitutif mengubah hukum yang berlaku. Terlebih Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan yang dijadikan dasar untuk menghukum Japin dan Vitalis Andi tersebut inkonstitusional dan karenanya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan, hal ini telah menimbulkan keadaan baru, dimana perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan pidana, tak lagi menjadi perbuatan pidana. Jika pembatalan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi terjadi ketika persidangan di Pengadilan Negeri Ketapang, maka hasil pemeriksaan pengadilan tentu akan memutus Terdakwa bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Sehingga, dengan munculnya keadaan baru ini, dapat menjadi pertimbangan dalam memutus permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Japin dan Vitalis Andi. Karena hal ini merupakan keadaan baru yang keluar (diputuskan) paska adanya putusan Kasasi Mahkamah Agung perkara Nomor 2292/K/Pid.Sus/2011.
Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) sebagai Kuasa Hukum Japin dan Vitalis Andi mengapresiasi putusan Majelis Hakim PK, karena telah memeriksa dengan seksama perkara tersebut dan memberikan keadilan bagi Japin dan Vitalis Andi. Putusan ini menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan pemidanaan yang diatur di dalam UU Perkebunan merupakan pasal represif yang hanya menyasar masyarakat petani. Pasal pemidanaan ini kerap digunakan untuk membungkam perjuangan-perjuangan masyarakat yang lahannya digusur atau dirampas pihak perusahaan perkebunan.
Kasus yang menimpa Japin dan Vitalis Andi berawal ketika masyarakat hukum Adat Dayak Silat Hulu berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Bangun Nusa Mandiri (PT. BNM), anak perusahaan Sinar Mas Group. Konflik bermula pada April 2008, PT. Bangun Nusa Mandiri (PT. BNM) melakukan penggusuran dan perusakan wilayah adat Silat Hulu seluas 350 ha. Areal yang digusur adalah areal perladangan, kebun karet, kebun buah-buahan dan dua buah kuburan. Atas penggusuran dan perusakan ini, masyarakat Adat Dayak Silat Hulu melakukan perlawanan dan menyita alat berat milik PT. BNM. Perusahaan pun melawan dan melaporkan masyarakat ke Polisi. Selanjutnya Vitalis Andi dan Japin diproses hukum karena dianggap melakukan tindak pidana mengganggu jalannya usaha perkebunan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 21 jo. Pasal 47 UU Perkebunan.
Japin dan Vitalis Andi selanjutnya ditangkap, diadili dan dinyatakan bersalah melakukan perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan, dan dipidana 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Ketapang, dengan perkara nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP. Mengikuti putusan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Pontianak (Perkara Nomor: 73/PID/2011/PT.PTK) dan Mahkamah Agung (Perkara Nomor: 2292 K/Pid.Sus/2011) melanjutkan dan memiliki pendapat yang sama dengan Pengadilan Negeri Ketapang, yaitu menyatakan Japin dan Vitalis Andi bersalah, serta tetap menghukum keduanya.
Sebagai upaya untuk melawan ketidakadilan, Japin dan Vitalis Andi, bersama-sama dengan korban kriminalisasi lainnya dari Sumatera Utara dan Blitar, mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, pada 9 September 2011, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010, telah membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Pasal 21 UU Perkebunan menyatakan:
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 47 UU Perkebunan menyatakan:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”;
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”;
Berbekal putusan MK tersebut, Vitalis Andi dan Japin mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 yang hasilnya berpihak kepada korban kriminalisasi ini.

Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

 

Hormat kami,

Public Interest Lawyer Network (PILNET)
 

Andi Muttaqien

Koordinator

Kontak: 08121996984
 
Catatan moderator:
Studi kasus dan konteks kriminalisasi ada di halaman 210 dalam publikasi “Konflik Atau Mufakat? dapat diakses di tautan/link berikut ini:
http://www.tuk.or.id/file/conflict-or-consentbahasaindonesiaversion2lowres.pdf

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *