Bencana Bisnis atau Bisnis Bencana? Mengungkap Praktik Bisnis Perusak Hutan dan Lahan Gambut

Jakarta, 20 Januari 2020— Selama satu tahun sejak akhir 2018 hingga 2019, koalisi 9 CSO di Indonesia tersebar di 7 provinsi melakukan pemantauan dan kajian sebagai bentuk aksi korektif masyarakat sipil terkait kebijakan yang berhubungan dengan industri pulp dan kertas.

Pemantauan dan kajian ini membahas realisasi komitmen perlindungan gambut di konsesi korporasi HTI dan sawit serta melihat langsung di lapangan bagaimana eksisting areal yang ditargetkan menjadi areal pengganti (Land Swap) bagi perusahaan HTI. Selain itu koalisi juga melakukan kajian terhadap komitmen keuangan berkelanjutan terkait risiko bantuan lembaga keuangan terhadap 8 grup perusahaan pulp dan kertas yang terlibat dalam beberapa masalah berkaitan dengan lingkungan, sosial dan tata kelola (Environtmental, Social and Goverment atau ESG).

Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan industri pulp dan kertas adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pada 2015, terjadi karhutla besar-besaran di Indonesia. Catatan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) karhutla yang terjadi pada Juni – Oktober 2015 telah mengakibatkan 24 orang meninggal dunia dan lebih dari 600 ribu jiwa menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan merugikan perekonomian Indonesia mencapai Rp 221 triliun.

Karhutla kembali berulang pada 2019. BNPB memprediksi kerugian yang ditimbulkan oleh karhutla 2019 mencapai Rp66,3 triliun. Taksiran kerugian itu diperoleh dengan membandingkan jumlah kerugian karhutla pada 2015. Luasan karhutla menurut catatan BNPB pada 2019 mencapai 350 ribu hektar.

Sedangkan pada 2015, menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah hutan dan lahan yang terbakar mencapai 2,61 juta hektar yang tersebar di hampir seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta dan Kepulauan Riau. Kebakaran terbesar terjadi di Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Papua.

Dari 2,61 juta hektar yang terbakar, sekitar 33 persen atau 869.754 ha berada di lahan gambut. Areal gambut terluas yang terbakar pada 2015 berada di Kalimantan Tengah seluas 310.275 ha, Sumatera Selatan 293.239 ha, Riau 107.000 ha, Jambi 60.280 ha, Papua 38.096 ha dan Kalimantan Barat 31.916 ha.

Berdasarkan data dari Badan Restorasi Gambut (BRG), luas areal korporasi yang terbakar pada 2015—berdasarkan luasan areal Prioritas Restorasi Pasca Kebakaran 2015 di areal korporasi— ialah 254.429 ha. Rincian karhutla terjadi di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 216.041 ha, dalam konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mencapai 15.341 ha dan di konsesi Hak Guna Usaha (HGU) seluas 23.047 ha. Sedangkan kebakaran 2015 terjadi diluar konsesi perusahaan atau di areal yang belum dibebankan izin maupun areal masyarakat mencapai 170.064 ha.

Berbagai aksi koreksi dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini, salah satu diantaranya mereview PP Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Atas perintah PP 57 tahun 2016 ini, KLHK menerbitkan PermenLHK nomor P.14, P.15, P.16 dan P.17 pada Februari 2017, yang intinya menyatakan areal korporasi bekas terbakar di atas lahan gambut tidak boleh ditanam kembali. Areal perusahaan yang berada di kedalaman gambut lebih dari 3 meter harus dijadikan fungsi lindung gambut dan dituangkan dalam revisi RKU perusahaan.

Tak lama berselang, pada 14 Juni 2017, Menteri LHK Siti Nurbaya menerbitkan Permen LHK No P.40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Perusahaan diberi lahan pengganti (land swap) jika 40 persen areal produksinya berada dalam fungsi lindung gambut.

Atas dasar kebijakan pemerintah inilah koalisi 9 organisasi masyarakat sipil melakukan pemantauan langsung di areal konsesi HTI untuk melihat realisasi kebijakan perlindungan gambut yang menjadi tanggungjawab korporasi. Sayangnya, dari hasil pemantauan menemukan kebijakan ini hanya diatas kertas dan minim realisasi, hingga akibatkan ancaman karhutla akan terus terjadi di areal gambut karena minimnya komitmen korporasi. Dari hasil temuan lapangan baik di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ditemukan tidak ada upaya maksimal dari 34 perusahaan (27 HTI dan 7 perkebunan kelapa sawit) yang dipantau untuk melakukan upaya perlindungan serta restorasi ekosistem gambut. Bukti dilapangan menunjukkan bahwa:

  1. Tidak ada Restorasi (Rewetting, Revegetation dan Revitalisasi mata pencarian masyarakat setempat) yang dilakukan perusahaan di areal prioritas restorasi.
  2. Terdapat aktivitas pembukaan lahan, penanaman ataupun pemanenan di areal Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dan areal Prioritas Restorasi Kubah Gambut Berkanal dan Tidak Berkanal (Zona Lindung).
  3. Terdapat aktivitas penanaman ataupun pemanenan di areal Prioritas Restorasi Gambut Pasca Karhutla 2015.
  4. Kembali terjadi kebakaran di areal Prioritas Restorasi Gambut
  5. Perusahaan tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan restorasi dan pencegahan karhutla.
  6. Terdapat perkebunan sawit, karet maupun peladangan masyarakat di areal prioritas restorasi perusahaan.
  7. Terdapat kampung dan fasilitas umum dalam areal prioritas restorasi

Sepanjang 4 tahun terakhir sejak 2015, perusahaan tidak melakukan kewajibannya merestorasi gambut dan pemerintah tidak memberikan sanksi. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penindakan dari pemerintah atas pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, pemerintah juga tidak transparan mempublikasikan implementasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang dilakukan oleh perusahaan.

Disisi lain koalisi juga melakukan pemantauan dan kajian terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan lahan pengganti (land swap) bagi korporasi HTI yang 40 persen areal konsesinya masuk dalam fungsi lindung gambut. Korporasi HTI akan memperoleh lahan pengganti paling tidak seluas dengan areal kerjanya yang berubah menjadi fungsi lindung gambut di kawasan hutan produksi dan merupakan kawasan tanah minera.

Sayangnya, dari hasil pemantauan dilakukan di 4 provinsi yaitu: Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Papua dan Riau, koalisi menemukan:

  1. Areal land swap telah ditempati masyarakat adat dan tempatan sejak berpuluh tahun lalu.
  2. Areal land swap merupakan kawasan gambut dengan kedalaman 2 – 4 meter.
  3. Areal land swap merupakan tegakan hutan alam tersisa.
  4. Terdapat fasilitas umum seperti perkampungan, sekolah hingga Taman Pemakaman Umum (TPU) di areal land swap.
  5. Areal land swap ditanami perkebunan sawit dan tumpang tindih dengan areal HGU.
  6. Tidak satupun dalam dasar hukum pembentukan P.40 yang memberikan pilihan untuk perlindungan gambut dalam areal konsesi HTI dilaksanakan dengan penggantian lahan usaha, melainkan pengurangan luasan areal kerja. Sehingga P.40 ini tidak memiliki rujukan dan bukanlah dikresi.

Kebijakan ini dinilai dapat menimbulkan masalah baru berupa konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan. Karena banyak diantara area yang menjadi target alokasi land swap telah ditempati masyarakat adat dan tempatan serta telah dibangun di atasnya berbagai fasilitas umum dan beberapa berada di kawasan gambut.

Tak hanya melihat bagaimana realisasi komitmen di lapangan, koalisi juga melakukan kajian teradap keterlibatan korporasi HTI dalam persoalan ESG serta peran lembaga keuangan yang dapat mencegah risiko ESG dari perusahaan yang mereka biayai. Kajian ini dilakukan terhadap 8 grup besar perusahaan HTI yaitu: Alas Group, Asia Pulp and Paper (APP), APRIL Group, Djarum Forestry, Kertas Nusantara, Korindo Group, Marubeni Corporation dan Oji Holdings Corporation.

Dari hasil kajian ditemukan bahwa 8 grup besar ini tak lepas dari persoalan lingkungan seperti deforestasi, pengembangan di areal gambut yang seharusnya menjadi kawasan lindung, mengembangkan hutan dengan nilai HCV tinggi, penggunaan api untuk pembukaan lahan, terjadinya karhutla di areal konsesi korporasi yang terafiliasi dengan kedelapan grup tersebut serta adanya kontaminasi sumber air.

Tak hanya itu, persoalan sosial seperti perampasan tanah, konflik serta masalah perburuhan juga mengikuti jejak kinerja 8 grup besar tersebut. Dan terakhir persoalan yang terungkap seperti penyuapan, struktur perusahaan yang sengaja disusun untuk memfasilitasi strategi perencanaan pajak untuk ‘menghilangkan’ keuntungan sehingga dapat membayar pajak lebih rendah ataupun bebas pajak serta tidak mematuhi peraturan pemerintah yang berlaku.

Berdasarkan hasil temuan dan kajian ini, koalisi merekomendasikan agar:

    1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan sanksi berupa pencabutan izin terhadap perusahaan yang ditemukan telah melakukan pelanggaran terhadap upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut terutama di areal bekas terbakar dan di areal gambut kedalaman lebih dari 3 meter.
    2. KLHK segera mempublikasikan
      1. Daftar areal perusahaan yang diambil alih pemerintah karena arealnya terbakar pada 2015
      2. Daftar areal perusahaan terbakar dan luasan areal terbakar serta pemilik perusahaan (BO)
      3. Daftar RKU-RKT yang telah direvisi perusahaan dan disetujui KLHK
      4. Laporan upaya restorasi serta luasan restorasi gambut yang telah dilakukan perusahaan
      5. Laporan penanganan terhadap korporasi yang melakukan penanaman di areal berkas terbakar atau yang tidak melakukan upaya restorasi
      6. Laporan penanganan konflik masyarakat vs perusahaan
    3. BRG segera mempublikasikan areal konsesi HTI yang menjadi target prioritas restorasi gambut.
    4. BRG harus memastikan pelaksanaan restorasi gambut seluas 2,49 juta ha terutama di areal korporasi sebelum masa jabatannya berakhir pada 2020 sesuai mandate dalam Perpres 1/ 2016. KLHK harus mempublikasikan areal korporasi HTI yang telah di restorasi sesuai surat perintah pelaksanaan restorasi yang dikeluarkan oleh KLHK.
    5. Perusahaan-perusahaan yang areal kerjanya masuk kedalam fungsi lindung ekosistem gambut harus dicabut izinnya.
    6. KLHK mencabut PermenLHK nomor P.10/Menlhk/Setjen/KUM.1/3/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut dan kembali menjadikan areal gambut korporasi bekas terbakar menjadi fungsi lindung gambut.
    7. KLHK mencabut Permenlhk P.62/2019 tentang pembangunan HTI karena bertentangan dengan semangat PP 57/2016 karena pemulihan gambut yang rusak bukan hanya di puncak kubah gambut, namun diseluruh ekosistem gambut.
    8. KLHK tidak melanjutkan kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan mengakibatkan konflik sosial ini dengan mencabut P.40/2017.
    9. Dengan dicabut dan tidak diberlakukannya P.40/2017 maka seluruh perusahaan yang telah mendapat pengesahan revisi RKU dan penetapan land swap turut dibatalkan dan mengecilkan luasan areal kerjanya sesuai dengan ketentuan P.45/2016 tentang Tata Cara Perubahan Luasan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi;

Narahubung:

Made Ali, Jikalahari, 0812-7531-1009
Riko Kurniawan, WALHI Riau, 0813-7130-2269
Rudiansyah, WALHI Jambi, 0813-6669-9091
M Hairul Sobri, WALHI Sumsel, 0812-7834-2402
Linda Rosalina, TuK Indonesia, 0812-1942-7257
Dimas N Hartono, WALHI Kalteng, 0813-5270-4704
S Martinus Gilang, POINT Kalbar, 0812-5663-9399
Kamiruddin, PLH Kaltara, 0852-4669-9108
Kristian Ari, Perkumpulan Silva Papua Lestari, 0823-9795-2401

Download Presentasi

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *