Perkuat Wacana Keuangan Berkelanjutan, TuK Indonesia Gelar Seminar Internasional

Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menggelar seminar internasional bertajuk “The Role of Sustainable Finance in Palm Oil” di Marriot Marquis Bangkok, Queen’s Park pada 4 November 2019. Seminar ini merupakan side event dari perhelatan akbar RSPO RT ke–17 yang berlangsung selama 3–6 November 2019 di Bangkok, Thailand.

Seminar dihadiri oleh pembicara dari beragam elemen, seperti organisasi internasional PBB, lembaga keuangan internasional, juga CSO indonesia dan internasional. Arah pembahasan fokus bercerita bagaimana perkebunan sawit dibiayai. Lalu seperti apa praktek perkebunan sawit yang tidak berkelanjutan yang telah merisikokan keuangan secara nyata.

Keuangan Berkelanjutan Belum Menjadi Mainstream

Ekspansi lahan yang dilakukan bisnis sawit menghadirkan ragam masalah di tingkat tapak. Mulai dari teritorialisasi ruang hidup masyarakat yang berujung konflik, sampai soal monokulturisasi yang menghilangkan keanekaragaman hayati dan berujung pada isu deforestasi dan degradasi hutan.

Masalah sosial dan lingkungan yang terjadi adalah “masalah hilir” sebagai akibat dari modal yang bekerja di hulu. The whole of problem dari bisnis tersebut perlu dipecahkan dengan mengupayakan strategis-holistik dalam memberikan penapisan, ihwal investasi modal yangmenjamin keberlanjutan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. Langkahnya denganmengarahkan aktor pendanaan untuk tidak lagi memberikan layanan keuangan bagi perusahaan yang tidak mematuhi kaidah–kaidah keberlanjutan dan berisiko tinggi, dan mendorong agar “lebih” memilih melakukan investasi pada bisnis yang berkelanjutan.

TuK Indonesia (2018) masih menemukan praktik–praktik penyimpangan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di Indonesia yang menyuntikkan aliran dana bagi perusahaan yang terbukti tidak taat peraturan dan operasi melanggar hukum dan kode etik. Sedihnya, praktik–praktik terjadi saat dimana Indonesia telah memiliki program keuangan berkelanjutan dan berkomitmen kepada Internasional untuk mengarusutamakan keberlanjutan di dalam rencana pembangunan. “Yang lebih mengkhawatirkan, hanya 11% bank di Indonesia yang memandang keuangan berkelanjutan sebagai bidang yang sangat menjanjikan. Lebih sedikit lagi, 4% bank menyatakan keuangan berkelanjutan akan menjadi prioritas mereka dalam waktu dekat”, ungkap Rahmawati Retno Winarni, anggota TuK Indonesia, salah satu pembicara dalam seminar.

Sejak 2010 hingga Juni 2018, sebanyak 55% produksi kelapa sawit di Asia Tenggara didanai oleh bank di Asia Tenggara. Malaysia adalah kreditor terbesarnya dengan nilai mencapai 15 milyar USD. Ironinya, nilai pembiayaan yang besar tersebut tidak diiringi dengan aturan ketat bank di Asia Tenggara ihwal risiko Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) (Forests and Finance, n.d.).
Situasi demikian menunjukkan bahwa keuangan berkelanjutan belum menjadi satu mainstreaming di dalam tubuh aktor pendanaan, utamanya di Indonesia. Padahal abai terhadap isu LST justru akan meningkatkan risiko keuangan, kepatuhan, dan reputasi bagi bank sendiri. Ini artinya, perlu upaya yang lebih dari biasanya dalam memainstreaming keuangan berkelanjutan, untuk Indonesia dan dunia.

Bank-Bank BUMN terbukti mendanai perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan

Berdasarkan investigasi yang dilakukan TuK INDONESIA, dari 10 bank teratas yang mendanai korporasi yang terafiliasi dengan karhutla ini, bank-bank dari Indonesia mewakili bagian pendanaan terbesar dengan nilai mencapai USD 3 miliar. Pemberi pinjaman tunggal terbesar adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan angka mencapai sekitar USD 1.722 juta. Selain BRI, Bank Negara Indonesia (BNI) juga masuk diposisi tiga teratas pemberi dana terbesar kepada perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan nilai mencapai USD 1086 juta. Ini artinya negara kita, BUMN kita ikut memfasilitasi kerusakan lingkungan dan menyebabkan kerugian negara.

Dari hasil analisis keuangan TuK INDONESIA, diketahui 17 perusahaan induk – termasuk pengendali 64 perusahaan tersangka pembakaran hutan dan disegel Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)— telah menerima pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan setidaknya sekitar Rp 266 triliun sejak 2015. Pendanaan ini berasal dari 156 induk investor yang menyediakan utang dan penjaminan. Sementara itu, ada pula 482 induk investor yang menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham dari perusahaan terafiliasi karhutla tersebut. 17 Perusahaan induk itu di antaranya Austindo, Batu Kawan, Cargill, DSN, Genting Group, Harita Group, LG International, Provident Agro, hingga Rajawali Group.

Ada tiga negara utama yang memberikan pendanaan berupa utang dan penjaminan kepada perusahaan-perusahaan yang terafiliasi karhutla, diantaranya Indonesia sebanyak 38 persen dari total pendanaan yakni setara dengan USD 3 miliar. Lalu ada bank-bank Tiongkok sebesar 34 persen atau setara dengan USD 2 miliar, serta bank-bank Malaysia sebanyak 21 persen atau setara dengan USD 1,9 miliar.

Selain tiga negara tersebut perusahaan yang terafiliasi karhutla juga mendapatkan dana dari negara Singapura (11 persen) dan Jepang (6 persen).

Dengan demikian, baik dari dalam maupun luar Indonesia, telah membahayakan kondisi hutan dan lingkungan Indonesia, mereka hanya mencari profit sebesar-besarnya, kemudian menyetorkan keuntungan tersebut kepada pemegang saham dan investor di negeri asalnya.

Kuasa Taipan Sawit di Indonesia 2018

Kuasa Taipan Sawit di Indonesia 2018. Pada bulan Februari 2015, TuK meluncurkan laporan penelitian tentang para Taipan Sawit di Indonesia yang pertama. Hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Profundo ini membuka mata berbagai pihak tentang seberapa besarnya andil taipan dalam sektor perkebunan sawit. Penelitian ini juga menunjukkan berapa banyak bank tanah perkebunan yang belum dikembangkan yang ada dalam kendali mereka, serta yang terpenting, bagaimana para pendukung dana telah membantu realisasi konsentrasi kekuasaan ini.

Penelitian ini mendukung seruan LSM untuk adanya reformasi agrarian dan untuk sektor keuangan yang berkelanjutan. Hasil temuan ini juga memicu pembahasan tentang pentingnya mengembangkan industri hilir minyak sawit. Selain itu, masyarakat umum menjadi lebih sadar tentang konflik yang terjadi dalam sektor kelapa sawit dan bagaimana sektor keuangan pula yang bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi tersebut.

Tiga tahun telah berlalu sejak penerbitan publikasi tentang Taipan pertama. TuK merasa tepat waktunya untuk menilik kembali penelitian ini dan mengumpulkan informasi dan data terkini terkait permasalahan tersebut.
Mengingat hal ini, Profundo dan TuK INDONESIA melakukan pemutakhiran penelitian tentang kekuasaan para taipan di sektor kelapa sawit Indonesia. TuK INDONESIA, bersama mitra kolaborasinya, akan memanfaatkan hasil temuan penelitian (terkini). Hal ini untuk mengidentifikasi hubungan dengan para taipan dengan politically exposed persons (PEP) yang terlibat dalam pemilihan umum 2019.

Dalam laporan ini kita bisa mengetahui siapa saja para taipan yang mengendalikan 25 Group penguasa lahan sawit di Indonesia. Ini termasuk Group yang terlibat dalam kebakaran hutan 2019, dan dari mana sumber keuangan mereka.

Download kuasa taipan kelapa sawit di indonesia final