[The Jakarta Post] Nyawa manusia adalah yang paling penting di kawasan perkebunan

31 Maret 2015
Penyiksaan dan pembunuhan yang baru-baru ini terjadi pada Indra Pelani merupakan tragedi yang mengejutkan. Ini adalah tragedi bagi keluarga dan masyarakatnya, bagi semua orang yang mempertaruhkan hidupnya untuk membela hak dan keadilan, dan bagi perusahaan yang anak usahanya mempekerjakan para penjaga yang dilaporkan telah membunuh korban.
Pembunuhan ini bukan sekadar kebetulan, dan tidak pula sebatas konflik lokal untuk memperebutkan hak atas tanah; melainkan, hal yang melibatkan sistem perkebunan ala industri yang telah merampas petak-petak tanah rakyat pedesaan secara sepihak.
Perusahaan telah mempersenjatai para penjaga yang melindungi perkebunan mereka, dan penjaga tersebut kebal hukum dan biasa melakukan kekerasan.
Akibat dari kriminalisasi yang telah lama dilakukan terhadap masyarakat lokal dalam mengakses lahan dan hutan adat mereka sendiri adalah pelanggaran yang tragis, konflik berdarah, pembunuhan, dan penghancuran masyarakat selama puluhan tahun lamanya di seluruh Indonesia.
Sebenarnya masyarakat adat dan petani telah sejak lama menyerukan dihentikannya tindakan ketidakadilan yang luar biasa ini. Namun Pemerintah dan perusahaan perkebunan hanya menanggapi dengan lambat dan bersikap semena-mena.
Tragisnya, fokus dunia internasional terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya justru diarahkan pada aspek lingkungan dan bukannya pelanggaran HAM yang terjadi.
Penerapan kebijakan konservasi hutan oleh perusahaan merupakan langkah awal yang patut diapresiasi, akan tetapi tetap belum juga berfokus pada HAM dan hak atas tanah.
Organisasi-organisasi lingkungan hidup dan mereka yang mendukungnya jelas-jelas lebih berfokus pada perlindungan keanekaragaman hayati dan cadangan karbon ketimbang nyawa manusia, hak atas tanah, mata pencaharian atau pemenuhan kebutuhan budaya.
Dan bagi kita fakta tragis ini semestinya sama meresahkannya dengan pemberitaan tentang penyiksaan dan pembunuhan korban, seorang pria usia 22 tahun, yang kebetulan berada dalam perjalanan untuk memanen padi di sawah masyarakatnya sendiri pada hari Jumat siang di bulan Februari.
Keanekaragaman hayati, karbon dan perubahan iklim adalah hal yang penting, akan tetapi nyawa manusia tentu jauh lebih penting.
Kalaupun ada hal positif yang menjadi pelajaran dari tragedi ini, maka itu adalah agar perusahaan dan kelompok-kelompok lingkungan hidup mau terlibat dalam memprioritaskan nyawa dan hak asasi manusia.
Ada tiga langkah yang dibutuhkan untuk mewujudkan pergeseran ini dan agar perusahaan yang terlibat dapat menunjukkan keseriusan komitmen mereka untuk memperbaiki pelanggaran terhadap hak-hak rakyat Indonesia dan tanahnya yang sudah berlangsung lama.
Yang pertama, para pemimpin perusahaan perlu mengembangkan secara rinci kebijakan korporat untuk HAM dan hak atas tanah secara konsisten sesuai standar-standar internasional jika hal ini belum dilakukan, dan kemudian dengan sigap menerapkannya dari level atas ke bawah, serta memberikan pelatihan ulang bagi semua staf di semua lini perusahaan, anak usaha dan perusahaan rekanannya.
Selain itu, para pemimpin perusahaan juga harus meminta pertanggungjawaban para staf, anak usaha dan kontraktornya atas kinerja yang mereka lakukan terkait kebijakan baru ini.
Kedua, perusahaan (beserta LSM-LSM lingkungan internasional yang bekerja bersama mereka) perlu berkomitmen untuk melaksanakan program-program yang memberikan pengakuan formal terhadap hak tanah adat yang dimiliki masyarakat adat dan setempat serta memprioritaskannya, dan harus memilih antara mengembalikan lahan-lahan dimaksud atau menegosiasikannya kembali sesuai dengan apa yang dikehendaki masyarakat yang bersangkutan.
Perusahaan perlu mengubah tradisi mereka dalam mempraktikkan ketidakadilan dan perlu memahami standar-standar internasional yang berlaku bagi semua lahan yang mereka dapatkan. Panduan Sukarela yang telah disepakati secara internasional untuk Tata Kelola Penguasaan Lahan, Perikanan dan Hutan secara Bertanggung Jawab, di mana Indonesia menjadi pihak penandatangannya, merupakan kerangka kerja yang baik untuk diterapkan. Selain itusudah ada panduan operasional untuk perusahaan yang sedang dikembangkan oleh suatu kelompok perusahaan besar dan organisasi masyarakat sipil.
Ketiga, perusahaan perlu berkomitmen untuk bisa diaudit secara berkala, independen dan sepenuhnya transparan untuk kinerja mereka terkait HAM dan hak atas tanah oleh organisasi-organisasi HAM internasional. Beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang kehutanan, makanan dan pertanian telah melakukan kajian tersebut terhadap aset-aset multi nasional yang mereka miliki selama beberapa tahun terakhir, sehingga membuktikan bahwa hal ini tidak hanya mungkin untuk dilakukan, akan tetapi juga menguntungkan.
Langkah-langkah di atas, jika dilakukan oleh perusahaan dan organisasi lingkungan, akan menjadi suatu poros sejarah menuju keadilan dan penghormatan bagi warga negara Indonesia. Meski demikian, langkah-langkah ini tidak akan cukup tanpa tindakan Pemerintah yang lebih besar dari yang saat ini dilakukan.
Dengan tidak dapat ditegakkannya hukum yang dibuatnya sendiri atau mematuhi standar-standar internasional yang sudah menjadi komitmennya, dan terus mempermudah pemberian segala jenis konsesi industri tanpa terlebih dahulu memberikan pengakuan dan penghormatan bagi hak atas tanah masyarakat lokal, Pemerintah Indonesia hanya akan mempersiapkan sendiri ruang bagi pelanggaran, konflik besar dan kematian yang sudah sangat biasa terjadi di seluruh penjuru negeri ini.
Janji Presiden Jokowi untuk menghormati hak-hak atas tanah yang dimiliki masyarakat lokal, dengan menjadikannya sebagai salah satu dari sembilan prioritas kabinetnya (Nawacita), memberikan harapan bahwa sejarah ketidakadilan ini pada akhirnya dapat mulai diakhiri untuk kembali menuju arah yang semestinya.
Meskipun Indra Pelani bukanlah pemuda pertama yang mati sia-sia di tangan industri perkebunan, dia bisa menjadi yang terakhir.
Selama beberapa tahun terakhir, sudah ada sejumlah perusahaan yang telah mengambil langkah-langkah penting untuk mulai menyelesaikan beberapa konflik lokal.
Akan tetapi baik Pemerintah maupun kelompok lingkungan yang mengusung agenda reformasinya belum memprioritaskan pemulihan akibat dari perampasan lahan dan kekerasan terhadap masyarakat lokal. Ini harus berubah. Karena nyawa manusia adalah yang paling penting.
Abetnego Tarigan adalah Direktur Eksekutif Walhi, LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Iwan Nurdin adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *