Siaran Pers: Keberlanjutan Takkan Berarti Bila Menegasikan Penghormatan terhadap HAM dan Keadilan Korban

Pernyataan Pers Bersama

Keberlanjutan Takkan Berarti Bila Menegasikan Penghormatan terhadap HAM

dan Keadilan Korban

Bangkok, 8 November 2016 – RSPO yang didirikan pada 2004 bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan lewat standar-standar global yang kredibel, serta melibatkan stakeholders seluas-luasnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sejak 2005, RSPO telah mengadopsi Prinsip dan Kriteria (P&C). Namun, meski memasuki umur 12 tahun, RSPO belum memiliki kemajuan yang signifikan atas minyak sawit berkelanjutan yang menjadi jargon dari inisiatif ini.
Berdasarkan mandat pendirian dan standar operasional bagi anggota RSPO tersebut seharusnya kasus-kasus yang diadukan melalui mekanisme RSPO dan kasus yang melibatkan anggota RSPO semestinya dapat diselesaikan secara cepat dan efektif. Namun sampai saat ini, kasus-kasus yang masuk untuk diselesaikan melalui mekanisme pengaduan RSPO belum juga memenuhi rasa keadilan korban, apalagi memulihkan hak-hak korban yang terampas. Hal ini tentu saja akan semakin menghilangkan kredibilitas RSPO.
Kasus-kasus yang sudah masuk dalam mekanisme pengaduan RSPO, sampai kini tidak tuntas penyelesaiannya, dan kasus-kasus lain yang melibatkan anggota RSPO sebagai berikut:

  1. Mitra Austral Sejahtera (Sime Darby Plantation) memasuki ke wilayah Sanggau, Kalimantan Barat pada 2006 dengan cara melakukan konsultasi dengan masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.   Masyarakat menerima kesepakatan tersebut dengan persyaratan wilayah yang dijadikan kebun sawit dapat dikelola melalui sistem pinjam pakai selama 25 tahun; (2) Apabiila perusahan hendak memperpanjang kebun harus melakukan renegosiasi; dan (3) Membangun sarana prasarana umum seperti Rumah Sakit, sarana olah raga, gedung sekolah, tenaga listrik untuk masyarakat. Namun kesepakatan yang dihasilkan belum terlaksana sampai saat ini;
  1. Wiramas Permai (Kencana Agri Group) di Luwuk, Sulawesi Tengah yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Wilmar Group sebesar kira-kira 30% mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mengelola perkebunan kelapa sawit, termasuk membangun kebun bagi masyarakat dan merekrut masyarakat setempat sebagai pekerja (buruh). Namun dalam perkembangannya, kebun yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, bahkan perusahaan ini malah merampas tanah masyarakat yang telah bersertifikat. Masyarakat setempat memang direkrut menjadi pekerja, namun upah mereka dibawah UMR. Meskipun mayoritas pekerja PT. Wiramas Permai adalah perempuan, namun mereka tidak dilindungi hak-hak reproduksinya seperi cuti haid dan cuti melahirkan. Berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan, masyarakat telah mengadukan permasalahan tersebut kepada Pemerintah Daerah namun tak ada tanggapan. Terhadap kasus ini, RSPO harus bisa mengevaluasi PT. Wiramas Permai karena telah melanggar hukum dan melanggar hak asasi manusia;
  1. Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan Sinar Mas Grup yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dayak di daerah Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat. Kasus ini bermula saat perusahaan masuk tanpa persetujuan masyarakat dan tokoh masyarakat pada 2008. Pada saat membuka kawasan perkebunan, perusahaan ini langsung menggusur pekuburan leluhur, ladang masyarakat, dan hunian masyarakat Silat Hulu seluas sekitar lebih dari 600 hektar. Berdasarkan pelanggaran tersebut, sesuai dengan tradisi masyarakat Dayak, maka mereka melakukan mengajukan tuntutan hukum adat kepada Sinar Mas Group, yang telah dipenuhi perusahaan pada November 2009. Namun, ternyata perusahaan ini justru melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang dikenal dengan kasus Andi-Japin. Selain, itu, Sinar Mas Grup juga masih melakukan penggusuran dan tanah yang dikuasai perushaan sampai saat ini belum juga dikembalikan kepada masyarakat. Berdasarkan kasus ini, masyarakat Silat Hulu mendesak perusahaan untuk: 1) Mengembalikan wilayah ulayat masyarakat seluas 664 hektar yang sudah ditanami   oleh perusahaan kepada masyarakat; 2) meminta perusahaan untuk meninggalkan wilayah adat masyarakat Silat Hulu; dan 3) memulihkan wilayah masyarakat adat yang telah dirampas oleh perusahaan;
  1. Sandabi Indah Lestari di Bengkulu yang menjadi pemasok bagi Wilmar dan Sinar Mas Grup telah melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi masyarakat di wilayah operasional mereka karena melakukan intimidasi. Intimidasi ini dilakukan perusahaan ketika masyarakat mengadukan permasalahannya melalui mekanisme RSPO. Selain kasus ini, perusahaan juga telah mengambilalih tanah para transmigran dan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan perlawanan. Kasus lain di Bengkulu adalah PT. Agri Andalas yang sampai saat ini belum menyediakan kebun untuk masyarakat sesuai dengan janjinya. Masyarakat telah mengadukan tindakan PT. Agri Andalas kepada Pemerintah Daerah, namun belum ada tanggapan. Dalam konteks ini, patut untuk diajukan gugatan terhadap prinsip dan kriteria produksi kelapa sawit yang berkelanjutan, jika CPO yang dihasilkan oleh para pemasok melakukan banyak pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia;
  1. Nabire Baru yang beroperasi di dalam kawasan hutan kecamatan Yaur, kabupaten Nabire, Papua, merupakan anak perusahaan dari Goodhope Asia Group. PT. Nabire Baru Co, telah melanggar wilayah ulayat dari masyarakat adat Yerisiam Gua karena menggarap wilayah mereka tanpa kesepakatan. PT. Nabire Baru juga telah menghancurkan sistem ekologi di Nabire karena menyebabkan deforestasi, hilangnya sumber makanan dan pendapatan masyarakat Yerisiam Gua. Selain itu, PT. Nabire Baru menjalin kerjasama dengan Brimob untuk menjaga wilayah operasional perusahaan. Atas nama perusahaan, Brimob melakukan tindakan kekerasan   terhadap   masyarakat. Masyarakat Yerisiam Gua telah berulang kali menyuarakan protes dan ketidaksetujuan terkait dengan pelanggaran hak asasi mereka, namun tidak satupun   direspon secara serius oleh perusahaan atau pemerintah daerah. Berdasarkan temuan ini, masyarakat mendesak RSPO untuk: 1) Melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan mendalam terhadap PT. Nabire Baru mengenai pelanggaran prinsip-prinsip dan kriteria produk kelapa sawit berkelanjutan, termasuk dinegasikannya partisipasi masyarakat; 2) Menuntut PT. Nabire Baru untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat Yerisiam Gua; 3) Meminta PT. Nabire Baru untuk menghentikan kegiatan mereka membuka perkebunan baru tanpa izin atau persetujuan dari anggota masyarakat secara keseluruhan; dan 4) Menghentikan dan mencabut keanggotaan Goodhope Asia Group dari keanggotaan RSPO;
  1. Kasus-kasus anggota RSPO yang beroperasi di Kalimantan Tengah seperti Sinar Mas, Wilmar Grup dan Bumitama Gunanjaya Agro (BGA). Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota RSPO terlihat pada 2 kasus yang melibatkan perusahaan milik dari BGA, yaitu PT. ASMR dan Bumitama Gunanjaya Agro. PT. ASMR membakar hutan dan lahan pada 2015 yang mengakibatkan bencana asap di Indonesia. Pembakaran hutan juga dilakukan oleh Bumitama Guna Jawa. Bahkan perusahaan ini melakukan manipulasi melalui kriminalisasi terhadap masyarakat dengan bantuan dan kerja sama dengan polisi dan militer. Selain itu, juga terdapat kasus yang melibatkan 5 dari 7 perusahaan yang dimiliiki oleh Wilmar Grup.   Kasus ini berkaitan dengan   pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT. KSI dan PT. Rimba Harapan Sakti pada 2015, sementara itu PT. KKPS, Mentaya berkonflik dengan masyarakat. Meskipun kasus-kasus ini sudah diadukan dan masuk dalam mekanisme RSPO namun belum ditanggapi secara serius. Sebagaimana di kasus yang melibatkan perusahaan milik Sinar Mas, meskipun sudah masuk sejak Juni 2015, namun hingga kini belum mendapat tanggapan serius. Apabila melihat respon RSPO yang sedmikian lambat, maka dapat dikatakan RSPO justru berkontribusi terhadap produksi konflik dan kerusakan hutan di Indonesia.

Kasus-kasus di atas menunjukkan secara empiric bahwa mekanisme pengaduan yang dibangun RSPO gagal menyelesaikan kasus-kasus secara efektif. Sebaliknya mekanisme RSPO malah memproduksi ketidakadilan, karena pemulihan yang menjadi hak korban justru dinegasikan. Kasus-kasus di atas juga menunjukkan bahwa dalam menjalankan operasionalnya anggota RSPO masih saja melanggar prinsip dan kriteria yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh anggota RSPO untuk mencapai produksi kelapa sawit yang berkelanjutan.
Beberapa kasus belum diadukan secara resmi ke RSPO, karena bercermin dari kasus-kasus complain yang sudah masuk dalam mekanisme yang di bangun oleh RSPO baik melalui DSF dan grievance panel belum menyelesaikan persoalan di tingkat tapak, bahkan kecendenderungan komunikasi yang di bangun tanpa ada keputusan yang adil dan menghentikan proses kompalin yang masih berlangsung walaupun bukti-bukti yang kuat sudah mendukung.
Pada umumnya perusahaan anggota RSPO hanya menempatkan prinsip dan kriteria (P&C) sebagai hal sangat teknis, dimana masalah lingkungan dan social hanya menjadi bagian dari skema sertifikasi keberlanjutan pasar yang dipertanyakan, karena proses pengelolaan yang sangat rendah dan permintaan pasar yang tidak berkelanjutan adalah intinya. RSPO adalah mekanisme sertifikasi pasar sukarela yang bersembuyi di atas “label hijau”, namun pada kenyataanya terus manutup mata atas dampak negatif atas tanah, hutan dan hak-hak masyarakat.
Dalam konteks hak asasi manusia, mekanisme RSPO dan keterlibatan anggota RSPO dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah operasionalnya menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang telah menjadi komitmen bersama masyarakat internasional. Pilar ke-2 dari Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM telah memberikan koridor bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan operasional harus menghormati hak asasi manusia dengan cara tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. RSPO semestinya dapat mendorong anggotanya untuk menyusun komitmen kebijakan untuk menghormati hak asasi manusia dan mengembangkan instrument human rights due diligence untuk menghindari berulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia. Di samping itu, Pilar ke-3 Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM menegaskan adanya kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif.
Dalam kaitan ini, maka RSPO harus mendorong setiap anggotanya untuk segera menuntaskan setiap kasus yang masuk melalui mekanisme RSPO sebagai bagian dari upaya untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk merespon hak korban untuk mendapakan pemulihan. Kami juga mendesak RSPO untuk melaksanakan komitmen setiap anggotanya untuk mematuhi prinsip dan kriteria produksi minyak sawit yang berkelanjutan dalam rangka menghormati hak asasi manusia.
 

Hormat kami,

ELSAM – TuK Indonesia – WALHI Sulawesi Tengah – WALHI Bengkulu – WALHI Kalimantan Tengah – WALHI Jambi – Yayasan PUSAKA – SKP Keuskupan Agung Merauke – Gemawan – Institut Dayakologi

Kontak:

  1. Andi Muttaqien / [email protected]

Insitute for Policy Research and Advocacy (ELSAM)

  1. Edi Sutrisno/[email protected]

Transformasi untuk Keadilan Indonesia

  1. Budi Siluet / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Sulawesi Tengah

  1. Beni Ardiansyah / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Bengkulu

  1. Arie Rompas / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Kalimantan Tengah

  1. Musri Nauli / [email protected]

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Jambi

  1. Andre Barahamin / [email protected]

Yayasan Pusaka

  1. Anselmus Amo / [email protected]

SKP Keuskupan Agung Merauke

  1. Hermawansyah / [email protected]

Gemawan

  1. Krissusandi Gunu’i / [email protected]

Institut Dayakologi

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *