Masukan Masyarakat Sipil atas Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan

Dikompilasi oleh:
Jalal dan Rahmawati Retno Winarni – Transformasi untuk Keadilan Indonesia
untuk Koalisi Responsibank Indonesia
 
Keluarnya Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan perlu mendapatkan sambutan yang baik.  Setelah Roadmap-nya keluar pada penghujung 2014, kini di pertengahan 2017 keberlakuannya akan menjadi lebih mengikat dengan keluarnya POJK.
Salah satu hal baik yang patut diapresiasi adalah kesediaan OJK untuk memberikan ruang bagi partisipasi para pemangku kepentingan keuangan berkelanjutan di Indonesia—termasuk kelompok-kelompok masyarakat sipil—untuk memberikan masukan.
Masukan berikut ini berasal dari diskusi yang diselenggarakan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia bersama-sama dengan anggota Koalisi Responsibank Indonesia pada tanggal 7 Juni 2017.  Masukan dibagi menjadi masukan umum, serta masukan per pasal.
 
Masukan Umum
Pertama, perlu penegasan bahwa keuangan berkelanjutan adalah tugas dari seluruh pelaku keuangan, bukan saja yang berupa lembaga jasa keuangan, namun juga seluruh bentuk organisasi yang mengelola keuangan.
Kedua, sebagai rancangan peraturan masih perlu dikuatkan cara penegakkannya, termasuk sanksi yang diberikan bagi bermacam bentuk pelanggaran, bukan sekadar peringatan tertulis untuk seluruh jenis pelanggaran.
Ketiga, kejelasan persyaratan legalnya perlu ditingkatkan, terutama yang terkait dengan kepatuhan pada hukum tata kelola, perlindungan dari perusakan lingkungan dan hal-hal yang merugikan masyarakat, termasuk perlindungan HAM.  Hal ini dapat dilakukan dengan merujuk regulasi-regulasi lain terkait tata kelola, sosial dan lingkungan yang sudah ada di Indonesia, namun lebih baik lagi apabila dinyatakan dalam keharusan penerapan mekanisme safeguards yang lebih ketat daripada sekadar peraturan yang sudah ada.
Keempat, perlu dinyatakan dengan tegas perlunya pendirian bagian atau personel yang bertanggung jawab atas sustainability compliance.  Bagian atau personel tersebut sangat perlu dinyatakan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mendalam atas legalitas dan keberlanjutan di sektor-sektor yang dibiayai oleh perbankan.
Kelima, perlu penjelasan yang detail mengenai mekanisme pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK, kaitannya dengan mekanisme kepatuhan yang ditegakkan oleh perusahaan, mekanisme due diligence dan penapisan investasi, perlindungan terhadap whistleblower, serta mekanisme penyelesaian keberatan yang disampaikan oleh masyarakat.  Keseluruhan hal tersebut perlu dibuatkan aturan yang mengikat.
Keenam, arah dari pengaturan keuangan berkelanjutan di Indonesia dinyatakan sebagai dukungan terhadap keberlanjutan proses pembangunan di Indonesia.  Lantaran Indonesia telah mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs), maka sebaiknya dinyatakan bahwa arah keuangan berkelanjutan adalah mendukung pencapaian SDGs.  Dengan demikian, maka akan menjadi tegas bahwa kegiatan yang bertentangan dengan pencapaian SDGs akan secara langsung maupun bertahap tidak akan dibiayai, sementara yang sesuai dengan SDGs akan semakin didukung.
Ketujuh, sebagai konsekuensi dari tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), maka hubungan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, perlu dijelaskan secara konsisten dengan SDGs, yaitu dalam model nested atau embedded.  Dalam model tersebut, ekonomi adalah bagian dari sosial, dan sosial merupakan bagian dari lingkungan; dengan demikian pencapaian tujuan ekonomi adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang luas, bukan hanya untuk segelintir orang, dan harus dilakukan dalam batas-batas alam, bersifat restoratif bahkan regeneratif terhadap alam.
Kedelapan, sesuai dengan kebiasaan dalam teks regulasi, sebaiknya bagian tujuan dari keuangan berkelanjutan ditempatkan dalam batang tubuh, bukan pada penjelasan.  Yang juga penting untuk ditempatkan dalam batang tubuh adalah definisi dan prinsip-prinsip keberlanjutan, bukan saja definisi keuangan berkelanjutan dan prinsip-prinsipnya.
 
Masukan Per Pasal
Pasal 1 sebaiknya memuat definisi keberlanjutan dan prinsip-prinsipnya, dengan merujuk pada definisi, model, prinsip dan turunannya yang mengacu kepada SDGs, mengingat Indonesia secara resmi telah mengadopsinya.
Pasal ini juga perlu untuk mendefinisikan leporan keberlanjutan dengan lebih presisi, yaitu bukan sekadar memuat tentang kinerja, melainkan juga kebijakan, tata kelola, strategi dan target keberlanjutan perusahaan, sebagaimana yang dianut di dunia internasional.  Sebaiknya, untuk laporan keberlanjutan, bisa merujuk pada standar GRI SRS, GRI Financial Services Sector Disclosure, SASB, dan/atau integrated reporting.  Dengan demikian mutu pelaporan keberlanjutannya akan diakui di level internasional.
Terakhir, pasal ini sangat perlu untuk menjelaskan isu-isu apa saja yang masuk ke dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, mengingat banyak pihak di Indonesia masih berselisih mengenai hal ini.  Ini bisa dilakukan dengan merujuk pada SDGs—dengan pembagian aspek yang sudah dilakukan Rockstrom dan Sukhdev (2016)—atau dengan merujuk pada pemikiran Raworth (2017).
Pasal 2, khususnya ayat 2, perlu untuk dibuat menjadi lebih kuat. Penguatan pertama yang perlu adalah pada prinsip b, strategi dan praktik bisnis berkelanjutan.  Seharusnya, prinsip tersebut perlu dinyatakan sebagai ‘kebijakan, strategi, prosedur, dan praktik bisnis berkelanjutan’, karena keberlanjutan bisnis membutukan kebijakan dan prosedur yang dibakukan.  Dengan mewajibkan kebijakan dan prosedur, maka OJK bisa menegaskan apa saja kebijakan dan prosedur yang harus dimiliki oleh perusahaan.  Kebijakan terkait dengan isu dan sektor tertentu sangat penting untuk dibuat, demikian juga dengan prosedur—misalnya prosedur penapisan investasi—yang dibuat berdasarkan kebijakan yang diwajibkan.  Prinsip ini juga perlu menegaskan bahwa bisnis berkelanjutan bukanlah yang bersifat meminimalkan eksternalitas negatif saja—yang baru bersifat less unsustainable—melainkan juga yang bersifat restoratif dan regeneratif untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan.
Prinsip c, pengelolaan risiko, perlu diperbaiki dengan mengadopsi enterprise risk management modern yang mendefinisikan risiko bukan saja sebagai minimalisasi dampak negatif (ancaman) melainkan juga upaya untuk mewujudkan berbagai peluang sosial dan lingkungan.
Prinsip e, komunikasi yang informatif, dan prinsip h, koordinasi dan kolaborasi, dapat diperbaiki dengan menggabungkannya menjadi prinsip pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan atau stakeholder engagement.  Sesuai dengan AA1000 Stakeholder Engagement Standard (AccountAbility, 2015), komunikasi adalah persyaratan untuk pembinaan hubungan yang baik, dan pembinaan hubungan sesungguhnya jenis dan modenya bukanlah sekadar koordinasi dan kolaborasi.  Penting untuk ditekankan bahwa untuk bisa melakukan pembinaan hubungan yang konstruktif, maka sudah seharusnya pemetaan pemangku kepentingan dan isunya, analisis, serta strategi pembinaan hubungan perlu dibuat, dengan memastikan prinsip-prinsip inclusivity, materiality, dan responsiveness ditegakkan.  Ini berarti seluruh pemangku kepentingan perlu diketahui dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, demikian juga dengan seluruh isu material yang menjadi perhatian mereka.  Selain itu, perusahaan perlu untuk merespons apa yang menjadi perhatian mereka itu dengan tepat.
Prinsip g, pengembangan sektor ekonomi prioritas berkelanjutan perlu dikuatkan dengan prinsip sebaliknya, yaitu meninggalkan secara bertahap sektor ekonomi yang bertentangan dengan tujuan keberlanjutan.  Di banyak negara, industri rokok, minuman keras, batubara, nuklir, pornografi, dan lainnya yang masuk ke dalam sinful industries atau controversial industries dimasukkan ke dalam daftar negatif yang secara langsung atau bertahap tidak boleh dibiayai dalam keuangan berkelanjutan.  Demikian juga, perusahaan-perusahaan yang terbukti telah membawa mudarat bagi masyarakat dan lingkungan banyak yang tidak bisa dibiayai lagi bisnisnya, setidaknya hingga periode waktu tertentu.
Pasal 3 menyatakan bahwa penerapan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan dilakukan secara bertahap.  Hal ini dapat menimbulkan makna ambigu, seperti bahwa prinsip-prinsip tertentu dapat ditegakkan belakangan.  Padahal, yang dimaksud adalah bahwa pemberlakuannya adalah secara seketika, namun ada waktu mulai yang berbeda untuk kategori lembaga jasa keuangan yang berbeda.  Bagaimanapun, prinsip tidaklah bisa ditawar-tawar, sehingga ketika diberlakukan untuk kategori perusahaan tertentu, maka seluruh perusahaan pada kategori tersebut harus menerapkannya secara menyeluruh.
Pasal 4 mewajibkan perusahaan untuk membuat rencana dan program aksi.  Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, seharusnya prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan tersebut diturunkan terlebih dahulu menjadi kebijakan, lalu rencana strategis (renstra), prosedur, barulah rencana setahunan dan program sebagai turunannya.  Tanpa kebijakan, renstra, dan prosedur, sangatlah mustahil prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan bisa ditegakkan, dan diukur jarak antara prinsip dengan penerapannya.  Karena detailnya akan memakan ruang yang banyak, ada baiknya dibuatkan dalam aturan turunan dari POJK ini.
Kebijakan, renstra, dan prosedur sebagai bagian dari tata kelola perlu ditujukan untuk memastikan bahwa seluruh aspek ekonomi, sosial dan lingkungan menjadi terlindung.  Oleh karena itu, ayat 1 juga perlu menekankan kewajiban perusahaan untuk membuat safeguards, yang dibuat dengan detail yang cukup, serta dibuka kepada publik, sehingga seluruh masyarakat bisa mengetahui kebijakan dan turunannya dari semua lembaga jasa keuangan.
Kebijakan, renstra dan prosedur perlindungan itu berlaku untuk periode yang lebih panjang daripada setahun (antara 3 hingga 5 tahun), dan perlu untuk dinyatakan adanya kewajiban review.  Kalau kebijakan dan turunannya tersebut diwajibkan OJK, maka seharusnya bukan saja mendapatkan persetujuan direksi perusahaan bersangkutan, namun juga perlu disetorkan dan mendapatkan persetujuan dari OJK.
Pasal 5 ayat 2 mewajibkan mengomunikasikan rencana dan program keuangan berkelanjutan kepada pemegang saham dan seluruh jenjang organisasi pada bank.  Ayat ini perlu diperbaiki dalam beberapa hal.  Pertama, seharusnya bukan cuma rencana dan program, melainkan juga kebijakan, renstra dan prosedur.  Kedua,  seharusnya seluruh hal itu dikomunikasikan kepada seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya pemegang saham dan pekerja perusahaan. Pewajiban ini misalnya diwujudkan dalam bentuk keharusan untuk membuat komunikasi di dalam website perusahaan serta saluran komunikasi lainnya. Ketiga, seharusnya berlaku untuk seluruh lembaga jasa keuangan dan organisasi yang mengelola keuangan, bukan sekadar berlaku untuk bank.
Pasal 6 menyebutkan bahwa rencana dan program bisa berupa penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola dan SOP; peningkatan kapasitas; serta pengembangan produk jasa keuangan berkelanjutan.  Hal ini sesuai dengan saran untuk membuat kebijakan, renstra dan prosedur.  Namun demikian, sesungguhnya tingkatan ketiganya adalah berbeda dengan rencana dan program setahunan sebagaimana yang diwajibkan di Pasal 4.  Sudah seharusnya kewajiban pembuatan kebijakan, renstra, dan prosedur—dengan jenis-jenisnya yang jelas, bisa dilihat pada banyak standar keuangan berkelanjutan yang sudah dibuat oleh beragam koalisi organisasi internasional, termasuk Responsibank—itu dinyatakan berbeda dari kewajiban membuat rencana dan program setahunan.
Selain itu, yang perlu untuk juga dimasukkan ke dalam pasal ini adalah penapisan investasi (perlu dinyatakan sebagai kebijakan dan prosedur), monitoring dan evaluasi (kinerja dan kepatuhan), investasi sosial yang perlu dilakukan (yang terkait dengan bisnis inti lembaga jasa keuangan), serta advokasi kebijakan yang hendak dilakukan oleh lembaga jasa keuangan dalam isu-isu tertentu.  Bagian terakhir ini akan memastikan bahwa corporate political activity yang dilakukan lembaga jasa keuangan adalah tidak menyalahi beragam aturan dan etika.
Tanggung jawab untuk memastikan adanya kebijakan keberlanjutan beserta turunannya dan penegakkannya harus dinyatakan sejelasnya melekat pada direksi dan dewan komisaris.
Pasal 7 menjelaskan kaitan antara CSR dengan keuangan berkelanjutan secara kurang pas.  Sesungguhnya CSR pada industri keuangan berarti sama dengan keuangan berkelanjutan.  ‘Dana CSR’ bukanlah istilah yang jelas, karena CSR itu cakupannya adalah tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu-isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat.
Seluruh sumberdaya finansial yang dipergunakan untuk melaksanakan subjek inti tanggung jawab sosial itu bisa dinyatakan sebagai ‘dana CSR’.  Oleh karena itu, bagian penjelasan atas ayat 1 perlu dipertegas dengan seluruh cakupan itu, bukan sekadar contoh-contoh yang hanya masuk ke dalam pengembangan masyarakat.  Untuk menghindari pemahaman yang keliru, definisi tanggung jawab sosial sebaiknya juga dimasukkan ke dalam Pasal 1.
Pada ayat 3 dinyatakan bahwa penggunaan ‘dana CSR’ disampaikan pada laporan keberlanjutan.  Kiranya sangat penting di sini dinyatakan apa saja yang menjadi isi dari laporan keberlanjutan—yaitu, sesuai dengan standar internasional, kebijakan, strategi, tata kelola, target, dan kinerja keberlanjutan—sebelum menyebutkan bahwa dananya perlu dilaporkan.  Sesungguhnya, dalam standar GRI SRS, GRI Financial Services Sector Disclosure, SASB, dan integrated reporting, pelaporan dana tidaklah signifikan sama sekali.  OJK perlu memanfaatkan pewajiban pelaporan keberlanjutan itu tidak sekadar untuk melaporkan dana CSR atau kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan yang bisa diinterpretasikan secara bebas oleh perusahaan.
Pasal 8 sebaiknya menjelaskan bagaimana review akan dilakukan oleh OJK.
Pasal 9 tentang pelaporan keberlanjutan mewajibkan perusahaan membuat laporan yang berisikan implementasi  dan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan.  Sebagaimana yang telah disampaikan terdahulu, sesungguhnya laporan keberlanjutan berisikan kebijakan, strategi, tata kelola, dan target; selain implementasi dan kinerja.  Oleh karena itu, sebaiknya pasal tersebut ditambahi dengan unsur-unsur lainnya yang biasanya dilaporkan dalam pelaporan keberlanjutan itu.
Sesungguhnya, laporan keberlanjutan sudah mapan di dunia internasional, yang kini mengenal GRI SRS, GRI Ginancial Services Sector Disclosure, SASB dan integrated reporting.  Agar laporan keberlanjutan perusahaan di Indonesia bisa diterima oleh pemangku kepentingan global, sebaiknya OJK memastikan untuk mengacu ke standar-standar tersebut, setidaknya GRI SRS dan GRI FSSD.  OJK dapat membuat aturan turunannya bila dipandang detailnya akan terlampau panjang bila dimasukkan ke dalam POJK ini.
Pasal 10 mengungkapkan bahwa satu-satunya bentuk sanksi adalah sanksi adinistratif berupa peringatan tertulis.  Tampaknya peringatan tertulis ini terlampau ringan.  Seharusnya ada tingkatan dalam sanksi, sesuai dengan derajat pelanggaran, termasuk apabila pelanggaran dilakukan berulang kali tanpa perbaikan.  Untuk bisa membuat kejelasan sanksi, tentu diperlukan kejelasan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran, misalnya terhadap masing-masing prinsip keuangan berkelanjutan, dan pelaksanaannya (kebijakan, strategi, prosedur, rencana dan program).
 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *