Obrolan Soal Bank, Masyarakat, dan Lingkungan

Oleh: Jalal
 
Saya mendapat banyak sekali ucapan selamat dari orang-orang yang saya kenal setelah acara peluncuran website www.forestsandfinance.org di Singapura dan Jakarta.  Sebetulnya, peran saya sendiri sangat terbatas di kedua acara itu, hanya menjadi moderator.  Ada juga bantu-bantu sedikit menerjemahkan, juga menyebarkan undangan ke acara itu.  Tetapi, kontribusi kecil itu tak mencegah para kenalan itu memberikan ucapan selamat dan komentar.
 
Di antara mereka yang mengirimkan ucapan selama lewat aplikasi WA, baik secara pribadi maupun lewat WAG, juga menelepon dan ketika bertatap muka, adalah para bankir dan petinggi korporasi.  Secara rerata, mereka sudah kenal saya sejak lama, mengetahui dengan persis apa saja aktivitas saya yang terkait dengan keberlanjutan, dan selama  ini mereka banyak membicarakan bagaimana mereka juga bisa mengaplikasikannya di level individu dan keluarga. 
 
Peluncuran website tersebut, dengan latar pemikiran di belakangnya—sebagaimana yang saya tuliskan dalam tiga artikel di media massa daring Tempo, GeoTimes dan Mongabay—rupanya mengubah pembicaraan kami.  Terutama, karena ide di baliknya adalah transparensi dan akuntabilitas keputusan pembiayaan oleh bank.  Bagian berikut ini bukanlah pembicaraan saya dengan satu orang, melainkan dengan kumpulan para bankir dan petinggi korporasi kenalan saya itu.  Ini juga bukan rekaman pembicaraan yang presisi, namun semua komponen diskusi di antara kami hendak direpresentasikan di sini.    
 
****        
Bankir/Eksekutif (BE): “Mas, selamat ya, acaranya di Singapura dan Jakarta sukses.”  
 
Jalal (J): “Terima kasih. Itu kan cuma peluncurannya. Yang penting sih akan dipake orang untuk mberesin situasi apa nggak.  Kalo nggak dipake, ya percuma.  Tapi saya beneran berharap ini bisa bikin orang mikir lebih jauh soal gimana bank bisa lebih mikirin tanggung jawabnya ketika ngambil keputusan investasi.”      
 
BE: “Susah, Mas. Bankir kan nggak ngerti yang begitu-begitu. Masak diminta untuk beneran meriksa debiturnya njalanin amdal-nya sih? Kan bukan kompetensi kami juga.”
 
J: “Hehe. Bankir juga nggak ngerti detail bisnis tambang batubara, migas, kelapa sawit, atau yang jualan gorengan di pinggir jalan. Bankir nggak punya kompetensi di situ, tapi kan ngambil keputusan soal itu.”    
 
BE: “Menurut saya itu beda, Mas.  Kami punya kualifikasi untuk menilai kelayakan usahanya.  Kami punya kompetensi itu.  Kami nggak ngerti detail bisnisnya, tapi kan ngerti bahwa bisnisnya layak.”
 
J: “Layak secara finansial dan ekonomi, ya?”
 
BE: “Setidaknya secara finansial. Kalo dampak ekonominya sih ya nggak juga bisa kami pahami sepenuhnya. Yang mikro tentu baik buat perusahaan.  Tapi kalo mereka mbayar pajak, tentu saja akan bagus buat ekonomi makro. Kalo mereka mbayar pekerjanya dengan baik, dan bikin macem-macem bisnis dengan pemasoknya, tentu itu dampak ekonomi ikutannya bagus.  Multiplier effect lah.”
 
J: “Jadi memang utamanya kelayakan finansial ya? Kalo sampe sering didemo karyawan dan masyarakat atau didenda besar karena merusak lingkungan, apa mereka juga dianggap layak finansial?”
 
BE: “Itu risiko non-performing loan alias NPL-nya jadi tinggi. Tapi kami dah mikirin juga gimana ngecilinnya. Kan kami melakukan manajemen risiko, di antaranya dengan asuransi dan macam-macam upaya lain.”
 
J: “Tapi ketika ngambil keputusan, apa temen-temen nggak bisa menghitung peluang dan magnitude risiko sosial dan lingkungan itu?”
 
BE: “Susah, Mas.  Itu kan nggak pasti.”
 
J: “Memang. Tapi bukannya risiko yang lain juga gak pasti?  Kalau pasti sih bukan risiko namanya. Terkait risiko sosial kan ilmu sosial bisa banget mbantuin meramalkan apa saja sumber gejolak sosial, termasuk dari masalah-masalah lingkungan.  Kalo amdalnya beres, itu semua bisa dibaca dengan baik, dan kita tahu gimana caranya mengelola itu.”
 
BE: “Tuh, kan. Yang penting ada amdalnya! Kami mastiin itu koq, selain ijin-ijin yang lain.”
 
J: “Masalahnya, sebagian besar amdal nggak beres.  Bukan cuma soal isinya yang jaka sembung bawa golok sama konteks lingkungan dan sosial dengan dampak bisnis, tapi juga cara ndapetinnya nggak beres.”
 
BE: “Sekali lagi, Mas. Kami nggak punya kapasitas buat menilai amdalnya beres apa nggak. Kami juga sulit dong untuk menelisik apakah perijinannya bener-bener diperoleh sesuai dengan governance dan etika. Kami mendukung penegakan itu, tapi sulit kalau harus memastikan bahwa debitur kami juga sama ketatnya dengan kami.
 
J: “Jadi, kalian nrima aja amdal yang nggak masuk akal, walaupun sadar bahwa amdal itu yang akan dipake sebagai alat pengelola risiko sosial dan lingkungan?  Kalo bisnisnya dihentikan masyarakat atau pemerintah lantaran dokumen dan praktik pengelolaannya nggak beres, apa bank nggak akan terpengaruh?  Kalo di kemudian hari ada debitur yang ketauan bahwa ijinnya nggak beres kemudian dicabut, dan bisnisnya dihentikan sementara bahkan permanen, apa bank nggak dirugikan? 
 
BE: “Selama ini ya begitu, yang penting ada amdal dan perijinan lainnya. Tapi sekarang jadi kepikiran banget.  Itu kan bawa risiko bisnis buat kami.”
 
J: “Iya.  Makanya kami juga sering ngingetin, jangan mbayarin kelapa sawit yang mbuka hutan primer, jangan mbayarin kalo itu di atas lahan gambut, walau yang minjem itu grup yang kayaknya bonafid.  Risikonya kegedean.  Temen-temen dari Wetlands Internasional udah nunjukin bukti-bukti kalo sawit di atas gambut itu banyak yang rubuh, padahal masih di tahap ‘belajar buah’, kayak di tahun ke 5 sampe 7.  Kami juga udah ndiskusiin soal stranded assets di sektor pertambangan batubara dan migas. Itu risiko finansial yang gede buat bank.”
 
BE: “Bener. Udah ada beberapa bankir yang bilang bahwa sawit-sawit yang di atas lahan gambut itu memang bikin risiko gede.  Yang kebakaran kemarin itu juga kebanyakan kebun di atas atau di sekitar gambut.  Nggak tau bank mana saja yang kena, tapi yang jelas pasti banyak lah.  Mungkin semua bank yang mbayarin sawit juga kena.  Kalo batubara kita liatnya memang harga produknya terjun bebas beberapa tahun belakangan, jelas banyak bikin pusing juga.  Minyak kita nggak main di situ lagi, karena harganya udah nggak masuk akal buat pengembangan bisnis baru.  Kita tadinya nggak liat itu sebagai risiko sosial dan lingkungan. Paling-paling kalau harganya membaik lagi, ya mereka mulai jalan, dan kami bisa mbayarin juga. Kan menambang batubara dan minyak masih legal?”    
 
J: “Persis di situ yang mau saya bilang.  Kebijakan dan prosedur penapisan serta pengelolaan sosial dan lingkungan yang saya sudah omongin berkali-kali ketika kita ketemu sesungguhnya itu juga buat kebaikan bank.  Amdal yang nggak beres tentu akan bikin risiko bisnis buat si perusahaan, sektor yang berisiko tinggi, dan perusahaan yang nggak peduli masyarakat dan lingkungan akibatnya juga risiko NPL buat bank.  Pas Konferensi Paris, gerakan divestasi batubara dan minyak itu sudah mencapai USD3,4 triliun, dan yang melakukannya beneran nggak akan kembali lagi, karena dasar pemikirannya memang dampak lingkungan.  Buat bank, apa yang terjadi ini memang bikin lebih repot ngambil keputusannya, juga mungkin di awalnya lebih sedikit duit yang bisa disalurkan, tapi keputusan kreditnya akan jadi lebih prudent.”
 
BE: “Iya. Kami juga diminta untuk ‘know your customer’, tapi jelas kami nggak kenal-kenal amat sama mereka, sedeket yang seharusnya.  Kami nggak tau apakah customer kami memang baik-baik apa nggak, bakal mbalikin duit dengan tertib apa nggak.  Bahkan, kayaknya kalo ngurusin pebisnis gede, kayaknya jauh lebih sering ketipu.”
 
J: “Masak sih?”
 
BE: “Haiyah, pura-pura nggak tau deh.  Kan ada tuh pernyataan ‘kalo minjem duit sepuluh juta, itu masalahnya nasabah; tapi kalo minjemnya seratus miliar, itu masalahnya bank.’ Itu beneran, Mas.  Kami seneng bisa minjemin duit gede.  Nggak usah ngurusin banyak pihak, target cepet dapet.  Tapi ya gitu itu deh.”
 
J: “Itu juga yang bikin kami, para aktivis keberlanjutan, berkonsentrasi di penapisan investasi buat korporasi.  Gimanapun, kalo korporasi kan dampaknya gede banget, baik yang positif maupun yang negatifnya.  Makanya perlu dijagain.”
 
BE: “Tapi yang sering diajuin aktivis itu kejauhan dari realitas, Mas.”
 
J: “Hah! Kalian itu doyannya ngeles.  Katanya korporasi termasuk bank itu tempatnya inovasi yang disruptif.  Diajakin mikir gimana caranya ngelola risiko dengan lebih komprehensif aja bilangnya susah.  Kalo tertib ngelola risikonya kan bisnis kalian juga jadi lebih bagus.  NPL itu kan paling nakutin bank.  Juga, kalo kalian terus-terusan diketahui ngasih duit ke perusahaan yang nggak bener, masak nggak ngeri sama risiko reputasi sih?”
 
BE: “Tapi kami kan harus investasi, Mas.  Itu para nasabah yang naruh duit kan ngarepin bunga atau bagi hasil.  Kalo kami susah naruh duitnya, karena dibatesin sama persyaratan ini dan itu, kan repot juga mbayarin bunga dan bagi hasil?  Mereka kan juga harus bisa narik duitnya sewaktu-waktu.  Kita perlu njagain itu.”
 
J: “Ngerti. Makanya, jangan sampe risikonya bank itu nggak terkelola.  Kalo perusahaan yang kalian pinjemin duit itu pada kena gangguan operasi karena kelakuan mereka sendiri, kan kalian juga yang mumet.  Inget lho, di enterprise risk management mutakhir, yang namanya risiko itu kan ancaman dan peluang sekaligus.  Peluangnya dateng dari bisnis-bisnis yang jauh lebih baik.”
 
BE: “Maksudnya, Mas?”
 
J: “Ente kurang piknik neh. Hehehe. Banyak banget penelitian yang mbuktiin bahwa bisnis yang beneran peduli pada lingkungan dan masyarakat itu jauh lebih nguntungin dibandingin bisnis yang nggak peduli.  Baru-baru ini saya beli buku The B Corp Handbook yang ditulis Ryan Honeyman.  Di situ Robert Shiller, yang menang Nobel ekonomi 3 tahun lalu jelas-jelas bilang bahwa B Corporations—yaitu perusahaan-perusahaan yang bersumpah untuk membawa benefit alias manfaat terbesar buat masyarakat, dan nggak mau bawa mudarat sekecil apapun—bakal bikin keuntungan yang jauh lebih gede dibandingin perusahaan-perusahaan lain.  Yang ngomong itu ekonom super-ngetop lho.  Penelitian yang menghubungkan kinerja sosial dan lingkungan dengan keuntungan finansial itu seabreg, dengan jelas banget bilang hubungannya positif.  Google dong.”
 
BE: “Udah pernah liat juga, Mas. Tapi itu semua kan di luar negeri. Indonesia kan aneh.  Belum ada kan penelitian yang bilang hal yang sama di negara kita?  Kalo di sini kita dianggap berbuat baik, itu mancing proposal lebih banyak.  Terutama, hehehe, dari Senayan.”
 
J: “Masih kurang google tuh.  Coba tambahin kata Indonesia.  Hasilnya sami mawon, Bro.  Kalo perusahaan perhatian pada masyarakat dan ogah ngrusak lingkungan, macem-macem indikator finansialnya juga kuat.  Ini bukan soal jadi sinterklas, tapi soal ngelola dampak bisnis inti.  Sebetulnya, kalo ada perusahaan jago ngurusin masyarakat dan lingkungan, jelas itu pertanda bahwa tata kelola sama manajemennya beres.”
 
BE: “Bener juga. Bisa dikirimin?”
 
J: “Haha. Iya deh. Tunggu aja di inbox. Tapi jangan males bacanya.  Agak banyak yang bisa dikirimin.  Termasuk bukti-bukti bahwa bank yang lebih hati-hati ngasih kredit, dengan menghitung aspek environment, social and governance—disingkat ESG—itu juga jauh lebih rendah NPL-nya, dan punya pangsa pasar yang semakin sesuai dengan kebijakan itu.  Pangsa pasarnya sendiri terus membesar.  Jadi sekarang bisa dibilang bukan cuma niche market doang.”
 
BE: “Oh ya?  Mantep tuh. Ditunggu, Mas. Biar gampang ngomong sama temen-temen di dalem.  Tapi susah juga ya kalo Pemerintah kita nggak bergerak ke situ.  Bank biasanyanya sih cuma gerak kalo udah jadi regulasi.  Lagian, seperti data yang ada di website elu itu, bukannya duitnya banyakan dateng dari negara-negara lain? Kalo Malaysia, Cina, Jepang, sama Singapura nggak ngetatin persyaratan kreditnya, emang akan ada artinya?”
 
J: “Mbok ya jangan masang prasangka butuk melulu sama Pemerintah.  Akhir 2014 OJK sama KLHK sudah bikin Roadmap Keuangan Berkelanjutan.  Masih banyak ruang perbaikannya, tapi jelas penting untuk disyukuri.  Tahun ini juga, dan tahun depan kemungkinan sudah akan ada beberapa regulasi turunannya.  OJK sendiri bagian dari Sustainable Banking Network atau SBN, yang bisa memengaruhi negara-negara lain untuk bergerak ke arah yang sama.”
 
BE: “Tapi Malaysia, Singapura sama Cina apa mau begitu?  Bukannya sekarang juga udah terbukti paling ngrusak hutan kita?”
 
J: “Yang ditaruh di website www.forestsandfinance.org itu adalah sektor yang paling bawa risiko kerusakan hutan.  Ya belum pasti mereka merusak.  Soal Malaysia dan Cina juga kita musti lebih hati-hati membacanya.  Dalam laporan WWF yang terbit tahun lalu—Sustainable Finance in Singapore, Indonesia and Malaysia—memang dinyatakan bahwa bank-bank di Indonesia itu yang lebih maju.  Tapi jelas, mereka juga mengejar.  Di laporan itu dinyatakan Singapura yang paling ketinggalan, tapi segera mereka ngeluarin aturan soal pelaporan keberlanjutan yang bakal bikin mereka lebih transparen.  Di Malaysia kayaknya memang belum ada perkembangan.  Cina, tahun lalu juga, ngeluarin dokumen Establishing China’s Green Financial System, lengkap dengan petunjuk detail untuk masing-masing sektor keuangan.  Sebagai dokumen, kayaknya Cina yang paling impresif.  Lha wong yang mbikinin itu salah satunya Simon Zadek, dewa sustainable financing.  Tapi memang kita masih harus nunggu implementasinya.  Tapi kita tahu, di Cina kalo sudah jadi dokumen pemerintah, ya akan dijalanin.”
 
BE: “Hahaha. Kita yang masih gini-gini aja dibilang yang paling maju ya?  Jadi, kalau liat laporan WWF itu, kita kayaknya paling perlu ndorong dan/atau maksa Malaysia berubah ya?”
 
J: “Hmmm, bener.  Tapi sejujurnya kita perlu khawatir juga sama yang lain.  Kalo kita liat status SBN terakhir, Malaysia, Jepang dan Singapura itu boro-boro punya sustainable banking guidelines, mulai ngembangin aja belum.  Jepang sudah jadi pendukung SBN lewat Kementerian Keuangannya, dan Singapura berusaha masuk lewat aturan pelaporan itu.  Tapi ya masih jauh dari harapan lah.  Malaysia itu yang paling menakutkan.  Naruh duit di sektor-sektor yang paling nimbulin risiko deforestasi, tapi paling terbelakang soal ini.”
 
BE: “Nggak ada harapan, Mas?”
 
J: “Hehehe, nggak begitu juga.  Kan kalau mereka naruh duit lalu bisnisnya gagal, duit mereka juga berisiko hilang.  Jadi, ya tetep bisa diajakin ngobrol. Kebetulan SBN tahun ini di Indonesia.  Bali tepatnya, di awal Desember nanti.  Kalau Pak Muliaman, bos OJK kita, bisa ngomong sesuatu yang membuat Malaysia—juga Jepang dan Singapura, semoga mereka datang—tiba-tiba tobat, kayaknya perubahan bisa cepet terjadi.  Lebih bagus lagi kalau Pak Jokowi sekalian yang ngomong.  Bilang kalau kita terbuka pada investasi asing, tapi investasi asing yang mempromosikan keberlanjutan, yang bermanfaat buat masyarakat dan melindungi serta memperbaiki lingkungan, dampaknya bisa sangat dahsyat.”
 
BE: “Apa Presiden kita pasti datang?”
 
J: “Nggak tau lah.  Memangnya saya Pak Jokowi?  Tapi kan sepantasnya begitu.  Ini kumpulan penggede bank sentral dan otoritas jasa keuangan bakal kumpul.  Kita harusnya ya bisa memanfaatkan momentumnya untuk ngomong soal yang kayak gini-gini.  Kita mau duit yang halal, dan dipakenya dengan thayib.”
 
BE: “Jadi ini beneran kepentingan bangsa kita, Mas?  Yakin nih, bukan pesenan LSM asing?”
 
J: “Duh, kenyang deh gua ditanyain kayak gini melulu.  Masak sih buat keberlanjutan sendiri, buat masyarakat sendiri, dan buat lingkungan kita sendiri, biar anak-cucu masih pada bisa hidup dengan air cukup, udara bersih, bisa makan dari hasil bangsa sendiri, masih juga dicurigain?  Selama ini duit asing masuk itu banyakan ke mana? Modal asing di swasta sama hibah dan pinjaman asing yang diterima Pemerintah kita berapa ribu triliun?  Berapa ribu kali lipat yang diterima LSM coba?”
 
BE: “Iya juga sih.  Kalau duit asing masuk ke swasta nggak pada protes ya?  Kalo utang Pemerintah sih masih banyak juga yang teriak-teriak.”
 
J: “Udah dari dulu kita kerjasama sama asing.  Buat merdeka saja kita butuh pengakuan asing, nggak bisa cuma menang perang dan nyatain diri merdeka.  Buat belajar banyak hal baik kita juga dapat dari yang asing. Nggak semua hal yang berasal dari luar Indonesia jelek kan?  Lha wong agama-agama majoritas di negara kita aja agama asing, hehehe.  Begitu juga hibah, hutang, investasi dan bantuan pengetahuan dari negeri-negeri lain, nggak semuanya jelek.  Juga, nggak semua yang berasal dari negeri sendiri itu mulia.  Kalo duit dari negeri sendiri terus dipake nyengsarain masyarakat dan ngrusak lingkungan, apa itu lebih bagus daripada duit asing yang kita pake buat mbangun masyarakat dan njagain juga mberesin lingkungan yang rusak?”
 
****
 
Begitulah, hari-hari menjelang libur Idul Adha saya dipenuhi oleh pembicaraan soal perbankan berkelanjutan.  Sejak peluncuran website www.forestsandfinance.org di Singapura lalu di Jakarta dan sesudahnya, terutama ketika bercakap-cakap dengan banyak orang seperti yang saya rekam di atas, di benak saya kerap muncul ingatan terhadap kalimat sakti: “If financial institutions don’t understand and reward sustainable behaviour, progress in developing more sustainable business practices will be slow.” Kalimat itu diucapkan Bjorn Stigson, sang mantan orang nomor 1 di WBCSD.  Saya membacanya di laporan WWF dan BankTrack, entah berapa tahun lalu.  
 
Shaping the Future of Sustainable Finance: Moving from Paper Promises to Performance, begitu tajuk dokumen itu.  Saya tidak tahu apakah kinerja perbankan dalam perlindungan sosial dan lingkungan sudah membaik sejak itu.  Tapi yang jelas, ruang perbaikannya masih sangatlah luas.  Rapor kebijakannya saja belum memuaskan, apalagi implementasinya.  Tapi saya percaya bahwa transparensi yang dipromosikan Rainforest Action Network, TuK Indonesia, dan Profundo lewat websiteyang baru diluncurkan itu akan bikin perubahan signifikan.  Semoga secepat yang kita butuhkan.  Agar apa yang dinyatakan Stigson itu tidak terus menggelayuti hidup ini, memang kita butuh perubahan yang ekstra cepat.
 
 Depok, 11 September 2016   
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *